Menulis Bebas: Refleksi Tahun 2021

Image Source: https://images4.alphacoders.com/150/thumb-1920-150168.jpg


Lama sekali tidak menulis. Mari kita coba.

September akan segera berakhir. Terhitung dalam 3 bulan kedepan, kita akan mengakhiri tahun 2021 dengan kondisi yang hampir sama dengan tahun sebelumnya: Pandemi Covid-19. Perbedaanya tahun ini sudah ada vaccine. Ada optimisme. Dalam 9 bulan terakhir ini, meskipun dalam situasi pandemi, terasa sekali waktu berjalan bukannya melambat malah justru semakin cepat. Lewat begitu saja oleh aktivitas day-to-day.

Karya yang dibikin masih biasa saja. Pun juga dengan amal yang diperbuat. Padahal batasan waktu yang ditakdirkan untuk singgah di bumi ini kian mendekati ujung.

Kadang saya merasa aneh jika merefleksikan kejadian-kejadian yang berlalu. Entah itu terkait langsung dengan saya, ataupun yang sebatas hasil pengamatan dan observasi. Disisi lainnya, kadang juga merasa lucu. Misalnya: kenapa hal mudah justru jadi sulit ketika dikerjakan orang lain? Tapi ini bisa saya sadari, sekaligus maklumi, memang kemampuan antar orang itu berbeda. Pun jika sudah ada standard-nya, tetap saja tidak ada yang sama persis antara satu orang dengan orang lainnya. Persis seperti DNA.

Ya sudah.

Ada juga hal yang menarik perhatian saya sejak lama: simplifikasi.

Dalam alam bebas, kita sering menjumpai jenis orang yang memiliki sudut pandang untuk melakukan simplifikasi terhadap kejadian, proses, ataupun pengetahuan.

Memang kalau kita mengacu ke Leonardo Da Vinci yang menyatakan "Simplicity is the ultimate sophistication" atau jika diartikan kurang lebih "kesederhanaan adalah kecanggihan tertinggi".

Leonardo Da Vinci (Image Source: National Geographic)

Simplisiti atau simplifikasi yang dimaksud Da Vinci tentu saja melalui proses berpikir yang sangat panjang dan juga sangat mendalam. Peran filsafatnya sangat terasa. Saya yakin akan berbeda sekali dengan konsep penyederhanaan yang dilakukan oleh manusia-manusia modern. Termasuk saya pribadi sebagai part of manusia modern.

Kita adalah produk simplisiti. Produk teknologi yang paling mutakhir saat ini, internet, terlihat begitu sederhana. Yang dengannya menjadi banyak manusia-manusia yang memposisikan dirinya sebagai seorang ahli. Jika dahulu seseorang tidak berani untuk berbicara sebuah topik "A" misalnya, itu lebih karena bukan kemampuannya pun juga bukan wilayahnya untuk berbicara sebuah topik "A". Namun dengan internet ini menjadi semuanya menjadi ahli. Mungkin itulah kenapa perkembangan ilmu menjadi linier. Yang cukup mengalami kultivasi hanya pada bidang teknologi, dengan proses improvement yang dilakukan. Meskipun jika diselidik, ternyata basisnya masih berupa ilmu yang sudah diprediksi, sudah dirancang, sudah diformulasikan sejak dahulu kala.


Dulu, sebelum mengenal internet, kemampuan membaca saya kalau boleh dibilang sangat baik. Saya bisa menamatkan sebuah buku, lalu memahaminya atau bahkan menghafalnya. Itu lebih karena saya menghargai buku itu sebagai sebuah visualisasi ilmu, penghargaan kepada para orang yang terlibat didalamnya, dan juga karena faktor ekonomi. Memiliki buku adalah sebuah kemewahan. Bahkan jika ia hanyalah hasil fotokopi.

Namun dengan adanya gawai dan internet, semakin banyak buku yang bisa saya dapatkan bahkan secara gratis. Sangat bebas. Namun yang dirasakan justru makin tidak bisa memahaminya. Mungkin karena ilegal dan tidak menghargai copyright, misalken ambil dari libgen dan lain sejenisnya. 

Makin banyak makin tidak fokus. Barangkali ini salah satu penyebabnya. 

Saya tidak tahu apakah dalam dunia akademik, anak-anak sekarang terlihat begitu bersemangat belajar seperti zaman-zaman saya kuliah dahulu ataukah memang sudah sangat berubah metode-nya. Seingat saya, di zaman saya karena dosen-dosen masih produk-produk konservatif yang menjunjung tinggi buku kertas menjadikan mahasiswanya mau tidak mau harus belajar dari buku kertas itu juga.

Tapi yasudahlah, ini hanya tulisan yang coba saya tulis barangkali suatu saat akan saya re-visit dan baca kembali.

Terlepas ini sulit menghubungkan topik yang ada, namun saya selalu penasaran dengan seperti apa masa depan itu. Misalnya: sudah sejak lama diprediksi bahwa di masa depan (maksimal 2050) sudah tidak lagi menggunakan bahan bakar fosil, atau terjadi pulau-pulau tenggelam, dan lain sejenisnya. Tapi kok rasanya problem manusia akan tetap sama: keserakahan itu abadi. (bersambung)




0 comments:

Post a Comment

+