Connecting the Dots

Showing posts with label Kita dan Kehidupan. Show all posts
Showing posts with label Kita dan Kehidupan. Show all posts

Menulis Bebas: Refleksi Tahun 2021

Image Source: https://images4.alphacoders.com/150/thumb-1920-150168.jpg


Lama sekali tidak menulis. Mari kita coba.

September akan segera berakhir. Terhitung dalam 3 bulan kedepan, kita akan mengakhiri tahun 2021 dengan kondisi yang hampir sama dengan tahun sebelumnya: Pandemi Covid-19. Perbedaanya tahun ini sudah ada vaccine. Ada optimisme. Dalam 9 bulan terakhir ini, meskipun dalam situasi pandemi, terasa sekali waktu berjalan bukannya melambat malah justru semakin cepat. Lewat begitu saja oleh aktivitas day-to-day.

Karya yang dibikin masih biasa saja. Pun juga dengan amal yang diperbuat. Padahal batasan waktu yang ditakdirkan untuk singgah di bumi ini kian mendekati ujung.

Kadang saya merasa aneh jika merefleksikan kejadian-kejadian yang berlalu. Entah itu terkait langsung dengan saya, ataupun yang sebatas hasil pengamatan dan observasi. Disisi lainnya, kadang juga merasa lucu. Misalnya: kenapa hal mudah justru jadi sulit ketika dikerjakan orang lain? Tapi ini bisa saya sadari, sekaligus maklumi, memang kemampuan antar orang itu berbeda. Pun jika sudah ada standard-nya, tetap saja tidak ada yang sama persis antara satu orang dengan orang lainnya. Persis seperti DNA.

Ya sudah.

Ada juga hal yang menarik perhatian saya sejak lama: simplifikasi.

Dalam alam bebas, kita sering menjumpai jenis orang yang memiliki sudut pandang untuk melakukan simplifikasi terhadap kejadian, proses, ataupun pengetahuan.

Memang kalau kita mengacu ke Leonardo Da Vinci yang menyatakan "Simplicity is the ultimate sophistication" atau jika diartikan kurang lebih "kesederhanaan adalah kecanggihan tertinggi".

Leonardo Da Vinci (Image Source: National Geographic)

Simplisiti atau simplifikasi yang dimaksud Da Vinci tentu saja melalui proses berpikir yang sangat panjang dan juga sangat mendalam. Peran filsafatnya sangat terasa. Saya yakin akan berbeda sekali dengan konsep penyederhanaan yang dilakukan oleh manusia-manusia modern. Termasuk saya pribadi sebagai part of manusia modern.

Kita adalah produk simplisiti. Produk teknologi yang paling mutakhir saat ini, internet, terlihat begitu sederhana. Yang dengannya menjadi banyak manusia-manusia yang memposisikan dirinya sebagai seorang ahli. Jika dahulu seseorang tidak berani untuk berbicara sebuah topik "A" misalnya, itu lebih karena bukan kemampuannya pun juga bukan wilayahnya untuk berbicara sebuah topik "A". Namun dengan internet ini menjadi semuanya menjadi ahli. Mungkin itulah kenapa perkembangan ilmu menjadi linier. Yang cukup mengalami kultivasi hanya pada bidang teknologi, dengan proses improvement yang dilakukan. Meskipun jika diselidik, ternyata basisnya masih berupa ilmu yang sudah diprediksi, sudah dirancang, sudah diformulasikan sejak dahulu kala.


Dulu, sebelum mengenal internet, kemampuan membaca saya kalau boleh dibilang sangat baik. Saya bisa menamatkan sebuah buku, lalu memahaminya atau bahkan menghafalnya. Itu lebih karena saya menghargai buku itu sebagai sebuah visualisasi ilmu, penghargaan kepada para orang yang terlibat didalamnya, dan juga karena faktor ekonomi. Memiliki buku adalah sebuah kemewahan. Bahkan jika ia hanyalah hasil fotokopi.

Namun dengan adanya gawai dan internet, semakin banyak buku yang bisa saya dapatkan bahkan secara gratis. Sangat bebas. Namun yang dirasakan justru makin tidak bisa memahaminya. Mungkin karena ilegal dan tidak menghargai copyright, misalken ambil dari libgen dan lain sejenisnya. 

Makin banyak makin tidak fokus. Barangkali ini salah satu penyebabnya. 

Saya tidak tahu apakah dalam dunia akademik, anak-anak sekarang terlihat begitu bersemangat belajar seperti zaman-zaman saya kuliah dahulu ataukah memang sudah sangat berubah metode-nya. Seingat saya, di zaman saya karena dosen-dosen masih produk-produk konservatif yang menjunjung tinggi buku kertas menjadikan mahasiswanya mau tidak mau harus belajar dari buku kertas itu juga.

Tapi yasudahlah, ini hanya tulisan yang coba saya tulis barangkali suatu saat akan saya re-visit dan baca kembali.

Terlepas ini sulit menghubungkan topik yang ada, namun saya selalu penasaran dengan seperti apa masa depan itu. Misalnya: sudah sejak lama diprediksi bahwa di masa depan (maksimal 2050) sudah tidak lagi menggunakan bahan bakar fosil, atau terjadi pulau-pulau tenggelam, dan lain sejenisnya. Tapi kok rasanya problem manusia akan tetap sama: keserakahan itu abadi. (bersambung)




Salah Kaprah Passion


Kata passion memang sudah menjadi mantra. Mau tidak mau, mainstream anak mudah kita saat ini akan terpengaruh dan mungkin juga terinspirasi oleh banyaknya tokoh inspiratif yang mempromosikan kata tersebut. Secara harfiah bisa jadi betul bahwa passion bisa menjadi kunci meraih kesuksesan. 

Saya nyatakan sebagai bisa jadi betul karena banyak hal di dunia ini yang terjadi secara kebetulan.

Namun, jika kita bertanya dan coba selidik ke orang-orang generasi terdahulu dimana mereka tidak mendapatkan promosi perihal kata "passion" maka sudah tentu mereka akan menjawab bahwa bukan passion lah kunci mereka meraih kesuksesan.

Misalnya jika bertanya ke Dahlan Iskan yang punya bisnis Jawa Pos Group. Jelas bukan passion jawaban yang akan disampaikannya. Atau ke Ciputra. Apalagi ke keluarga Sampoerna atau Hartono.

Teman-teman saya yang Tionghoa juga kurang begitu menerima jika promosi "passion" dijadikan semacam mantra dan jalan menuju kesuksesan. Di keluarga, mereka diajarkan bahwa untuk meraih kesuksesan adalah harus memiliki mental mandiri, mental yang kuat dan mental pemenang. Yang jika dipecah dapat kita bagi-bagi menjadi beberapa sifat seperti visioner, disiplin, gesit, fokus, dan totalitas. Maka kata "passion" tidak dimasukkan kedalam kamus untuk meraih sukses.

Saya nyatakan bisa jadi betul juga karena definisi terkait sukses itu berbeda-beda untuk setiap kepala. Maka sebenarnya juga tidak masalah jika ada banyak orang yang menjadikan "passion" sebagai landasan untuk meraih sukses yang dibayangkannya. 

Namun sebagai pemikiran, maka saya rasa perlu untuk menuliskannya dan mempermasalahkannya.

Hipotesisnya adalah tidak benar bahwa passion adalah kunci meraih sukses. Namun sayang sekali metoda penelitiannya tidak ilmiah dan hanya berbasis subjektifitas. Oleh karenanya, jika Anda tidak setuju dengan hipotesis saya diatas, sebaiknya jangan meneruskan untuk membacanya. 

Menurut saya, banyak yang salah kaprah terhadap "passion". Karena dimensi "passion" itu akan membuat Anda sulit untuk naik kelas. Passion membuat Anda terbatas. Ia mengekang Anda. Ia membuat Anda tak sadar telah membangun pagar untuk diri Anda. Sementara ada banyak sekali tanah tak berpenghuni di luar sana yang siap untuk Anda takhlukkan, kalau tak boleh disebut siap untuk Anda jajah.

Maka saya kurang tertarik sejak dulu terhadap siapa saja yang mempromosikan kata "passion" sebagai jalan ninja-nya.

Kita dan Rezeki


Sebagai makhluk fana yang hidup dalam alam fana, menjadi fitrah manusia jika mencintai harta. Harta itu bisa berupa uang, perhiasan, tanah, mobil, rumah, sawah dan ladang, atau bentuk lainnya yang memiliki nilai materi ketika digunakan semasa hidup di dunia. 

Sejarah mencatat pelbagai peristiwa yang berakhir dengan pembunuhan maupun perang adalah karena keinginan untuk menguasai sumber ekonomi, menguasai harta sebanyak mungkin.

Nyatanya, harta memang menjadi godaan yang berat bagi setiap manusia. Tak terkecuali ia yang sudah dikenal jujur dan berintegritas sekalipun.

Sifat manusia memang menjadikannya sebagai tempat salah dan khilaf, dan kita menyadari betul akan hal tersebut. Namun, meski memahaminya dengan baik sekalipun kita seringkali terlena dan tak sadar telah menjadi "budak materi" dengan mempertontonkan segala bentuk materi itu sendiri. Tanpa kita sadari.

Disisi lainnya, harta menjadi faktor penting dalam peristiwa-peristiwa tragis semisal perampokan, penjambretan, pencopetan, pencurian, pembegalan, korupsi, atau dalam sekala luas bahkan sampai pada tahapan perang yang memakan korban hingga jutaan orang.

Maka kita harus mengembalikan itu semua kepada iman supaya kita selalu ingat bahwa kita ini hanyalah manusia yang lemah, kita ini bukanlah apa-apa dibandingkan alam semesta yang Maha Luas.

Seringkali kita memang khilaf, apalagi saat kondisi tertekan. Tidak pegang uang sama sekali, misalnya. Di waktu yang sama kita dihadapkan pada kondisi yang sulit: anak kita sakit dan perlu untuk ditangani segera oleh dokter di rumah sakit. Dan tidak ada saudara atau teman yang bisa kita mintai tolong. Sama sekali. Sungguh kondisi yang sulit.

Sementara di saat yang sama, kita tiba-tiba saja menemukan dompet beserta isinya yang tak sedikit. Atau juga tiba-tiba menemukan gelang emas yang jatuh di jalan, tetiba saja ada sepeda motor dengan kontaknya yang lupa dibawa, atau hal-hal lainnya.

Tentu sangat menggoda iman.

Dalam menghadapi hal demikian memang tak kan kuat jika yang menjalaninya adalah orang biasa yang lemah iman. Dengan sesadar-sadarnya. Tak akan kuat. Bahkan mereka yang sudah terbiasa dengan kekayaan dan jabatan tinggi sekalipun, juga dengan kuantitas ibadah yang tinggi sekalipun, ia tak kan kuat jika Allah SWT tak ridho dan memantapkan hatinya akan nikmat iman.

Kita memang harus selalu bersyukur atas segala nikmat yang telah dikaruniakan oleh Sang MahaKuasa, terutama nikmat iman. Hal yang menurut banyak orang sederhana dan seringkali dilalaikan, nyatanya mampu menjadi penolong kita dalam kondisi yang sedemikian hebatnya.



Kita dan Kesombongan

Andromeda Galaxy (sumber gambar: nasa.gov)


Sifat dan sikap sombong itu memang menjadi masalah yang harus dihadapi oleh manusia. Tak terkecuali diri kita sendiri. Permasalahan kesombongan ternyata tak hanya dimiliki oleh orang-orang yang terlanjur kaya dan lupa akan daratan. Bahkan mereka yang mengaku terdidik dan mengklaim paling islami pun tak luput dari apa yang disebut dengan sombong dan kesombongan.

Barangkali kita melupakan bahwa sejatinya Iblis itu awalnya adalah makhluk Gusti Alloh yang sholeh dan beribadah kepada-Nya selama ribuan tahun adanya.

Bahwa kelak kemudian Gusti Alloh berkehendak menciptakan Adam, maka sejak itulah Iblis memilih jalan kesombongannya. Iblis mengklaim bahwa ia lebih taat, dan lebih mulia dari Adam. Bahwa ia diciptakan dari Api, bukan dari tanah.

Maka begitulah cerita dan tafsir agama kita tentang sejarah Iblis dan diutusnya Nabi Adam as.

Agaknya, di zaman yang semakin terasa cepat waktu berlalu ini membuat manusia makin sibuk dengan pelbagai urusannya. Tentu urusan duniawi, atau yang berhubungan dengan dunia. Semisal pendidikan, pekerjaan, dan sejenisnya.

Justru karena itu lah, penulis mengakui bahwa kesombongan itu perlahan-lahan muncul tanpa disadari.

Mari kita coba membaca fenomena yang ada, tentu dengan merefleksikan diri kita pribadi sebagai bagian dari fenomena tersebut, semisal pendidikan tinggi baik di dalam negeri maupun di luar negeri. 

Bukankah makin banyak kita jumpai para mahasiswa yang kuliah di Universitas Top dalam negeri enggan untuk turun ke lapangan, turun ke bawah, turun ke sawah-ladang, turun ke gang-gang sempit? Kalau pun ada, agaknya hanya berupa social project dari sebuah program kerja suatu organisasi dalam kumpulan mahasiswa tersebut. Bukan inisiatif dan gerakan personalnya. 

Belum lagi para mahasiswa kita yang belajar di luar negeri. Jika timbul perasaan bahwa ketika belajar di luar negeri akan membuat kita lebih sukses atau lebih bisa memecahkan sebuah persolan, penulis menilai kasus seperti ini adalah contoh awal dari sebuah kesombongan berbenih dan mulai tumbuh. 

Atau lihat lah fenomena politik akhir-akhir ini yang kian kemari, kian makin banyak para komentator politik dadakan yang mengklaim pilihan politiknya lebih baik dari yang lain?

Ah, kesombongan memang selalu terselip dalam setiap tindak-tanduk anak Adam. Tak terkecuali kita, bahkan penulis pun mengakuinya. Atau mungkin juga dalam tulisan ini terselip benih-benih kesombongan. Dan itu bisa saja.



Kita dan Risiko



Memahami hakikat menjadi manusia, kita akan mencoba tuk memahami ‘bagaimana seharusnya’ dan ‘bagaimana sebaiknya’ manusia itu hidup dan mengisi kehidupannya. Kita telah mengenal berbagai peristiwa dan kejadian yang sudah kita jalani hingga hari ini. Tentu, dari Anda sekalian pernah melakukan hal yang dulu Anda simpulkan sebagai sebuah kesalahan, dan ketika Anda menemukan kondisi yang hampir sama pada saat ini atau di kemudian hari maka secara otomatis Anda mengenalinya sebagai sesuatu yang harus dan sebaiknya Anda hindari; perlakukan dengan cara lain; atau malah mengambilnya dan memperbaikinya.

Sepanjang perjalanan manusia mengisi kehidupan di bumi ini, sebenarnya tak ada yang berubah sedikitpun mengenai perilaku alamiah dari manusia itu sendiri. Perkembangan zaman yang diwarnai dengan semakin canggihnya teknologi, hanyalah bagian dari siklus atau alur dunia itu bergerak. Tetap saja, manusialah yang menggerakkannya. Dan pada akhirnya, akan kembali ke kondisi dimana manusia hidup di masa-masa seperti pendahulunya.

Mari coba kita bicarakan mengenai risiko. Hal yang selalu dihadapi manusia, namun kebanyakan manusia memilih untuk menghindarinya. Padahal, ada banyak cara menghadapi risiko. Menghindar adalah salah satunya. Dan cara ini yang paling populer dan dipilih kebanyakan orang.

Saya bertanya kepada Anda, kira-kira keputusan terberat apa yang pernah Anda ambil? Dan bagaimana akibat dari keputusan tersebut bagi hidup Anda?

Jika Anda menjadi seorang mahasiswa, mungkin Anda pernah mengalami dilema ketika memutuskan apakah akan lulus semester depan atau menunda di semester selanjutnya lantaran ada mata kuliah dimana Anda mendapatkan nilai yang tidak bagus, padahal mata kuliah itu adalah basis/ inti dari jurusan Anda berada.

Atau jika Anda adalah seorang karyawan di sebuah perusahaan, Anda mengalami yang namanya long distance relationship (LDR) dengan pasangan Anda, atau dengan keluarga Anda. Tentu membuat Anda selalu kepikiran, apalagi Anda memiliki baby yang masih kecil atau orang tua yang sedang sakit-sakitan.


Memahami Bagaimana Seharusnya dan Sebaiknya Hidup

Setiap hari dan setiap detik, kita pasti menghadapi yang namanya risiko. Yang membedakan kita dengan orang lain adalah bagaimana kita memanajemen risiko yang ada. Bisa saja, sama-sama mahasiswa atau karyawan dengan job-desc yang sama, namun menghasilkan hal yang berbeda. Yang satu menghasilkan hal yang biasa saja, yang satu menghasilkan hal yang luar biasa.

Semakin besar risiko, semakin besar pula keuntungan yang akan diperoleh. Hukum ekonomi seperti itu. Namun, itu juga yang membuat tak banyak orang yang benar-benar berada pada posisi Great. Kebanyakan mereka hanya sebatas mencapai posisi Good, sebagaimana riset belasan tahun yang dilakukan oleh Jim Collins dan timnya, hingga lahirlah buku yang berjudul: Good to Great, dengan pernyataan fenomenalnya, “Good is the enemy of great.”

Risiko selalu kita temui. Itulah kehidupan.

Jika kita menginginkan kebahagian hidup di dunia ini, maka cara terbaik adalah dengan memahami setiap risiko yang akan kita hadapi. Sudut pandang sebagai pemenang haruslah kita kuasai agar risiko yang ada tak menyiutkan nyali. Menurut Anda, mengapa ada banyak orang sukses dan jauh lebih banyak lagi orang yang biasa saja? Yang membedakannya adalah sudut pandang pemenang. Sudut pandang sang juara.


Dan ini yang penting: Tak peduli seberapa luas pemahamanmu akan kesuksesan, jika kau tak memiliki sudut pandang sang juara, maka wawasanmu bagaikan hiasan foto berbingkai. 

[Desember 2016]

Kita dan Kebenaran

[image source: www.google.com]


Akhir-akhir ini, kondisi berbangsa dan bernegara di Indonesia mengalami babak baru dalam bingkai era reformasi. Terutama dalam hal perpolitikan tanah air, dimana penyelenggaraan pilkada di DKI Jakarta mendapatkan tempat yang spesial dan berhasil menyita perhatian nasional. Demo bertajuk Aksi Bela Islam yang berjilid-jilid, ditambah lagi sekarang setelah putusan hakim terhadap Basuki Tjahaja Purnama (BTP) berupa vonis 2 tahun penjara, malah membuat suasana di masyarakat makin memanas.

Aksi menyalakan 1000 lilin di berbagai kota di Indonesia, juga beberapa negara di luar negeri, merupakan bentuk protes dari pendukung BTP yang menganggap bahwa putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta yang menangani kasus Ahok tak adil. Apalagi sehari setelah pembacaan vonis, ketiga hakim mendapatkan promosi dan mutasi jabatan.

Pelaporan-pelaporan atas nama penghinaan agama dan sejenisnya pun mulai dicari-dicari.

Aksi-aksi serupa di Jakarta juga terjadi di Pontianak. Mereka juga menyebutnya aksi bela islam. Sama seperti di Jakarta. Bahkan yang terakhir itu berakhir bentrok dengan gawai dayak yang juga turun ke jalan.

Banyak tulisan di media sosial, bukannya mendinginkan situasi, malah makin memanaskan. Ada yang mencoba mendinginkan, malah diserang dari kedua belah pihak yang berseteru. Dari perspektif masing-masing tentunya. Rasanya, se-objektif apapun seorang tokoh menulis, ujungnya adalah dicari dan dipetakan kira-kira ia lebih mendukung siapa, atau berada dikelompok mana. 'Siapa' lebih ditonjolkan daripada 'Apa' dalam menanggapi kasus yang terjadi.

Fenomena penulis muda bernama Afi yang baru lulus SMA di Banyuwangi lewat tulisannya yang berjudul "Warisan", nampaknya juga tak berhasil mendinginkan suasana. Banyak pihak masih melihat tulisan itu untuk memukul satu sama lain. Pihak yang setuju dengan isi tulisan tersebut, menggunakannya untuk menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh lawannya adalah sebuah kesalahan dan tindakan radikalisme dalam melihat keberagaman. Sementara pihak yang tak setuju, alih-alih mau mengambil hikmahnya, malah menolak habis isi tulisan dan beredar kabar bahwa sang penulis muda ini beberapa kali diancam baik via telephone maupun sms/WA. Wallahua'lam.

Dalam melihat permasalahan ini, justru yang terlintas dalam diri saya adalah: lagi-lagi nama Islam yang dirugikan (meski sejatinya Islam tak akan pernah rugi).

Alih-alih menyebut keberhasilan dalam mendatangkan ratusan ribu orang dalam setiap aksinya, mereka sama sekali tak mau mengambil hikmah yang lebih besar. Mereka menyebutnya sebagai kemenangan umat Islam. Saya tidak setuju, karena kemenangan sesungguhnya adalah mengalahkan diri sendiri. Dan itu tak akan pernah selesai proses menang-kalah selama manusia hidup.

Meruntut dari ilmu yang dijabarkan oleh Cak Nun, bahwa kebenaran itu setidaknya ada 3 (tiga) jenis/ tingkatan. Kebenaran yang pertama adalah kebenaran diri-sendiri/ subyektif. Kebenaran yang kedua adalah kebenaran orang banyak/ kolektif. Dan kebenaran yang ketiga adalah kebenaran yang hakiki/ilahi.

Permasalahan yang muncul di permukaan dan banyak meramaikan media tanah air adalah pada tingkatan pertama: kebenaran diri-sendiri/ subyektif. Terlihat jelas bahwa masing-masing kubu (yang terbagi dua), saling klaim bahwa merekalah yang paling benar. Alih-alih mendapatkan titik temu, caci maki makin merajalela dan mencuat ke permukaan. Mereka yang tak berilmu ini yang paling parah: misalnya sampai melaknat orang atau bahkan mendoakan kecelakaan/ musibah terhadap yang tak sepaham dengannya. Ini berbahaya, bukan hanya bagi dirinya sendiri (secara psikis dan spiritualnya) juga dalam kehidupan sosialnya kelak. Sebagai seorang muslim, melaknat orang sekalipun orang yang dilaknat tersebut dalam kesalahan adalah sebuah kesalahan itu sendiri. Ini sangat dilarang dan tak pernah dicontohkan sekalipun oleh Kanjeng Nabi SAW (semoga kita senantiasa meniru akhlak mulia beliau).

Kebenaran masing-masing ini, meskipun diadakan dialog untuk mencari titik temunya, hanya akan menghasilkan perselisihan-perselisihan baru kedepannya - jika tak dibarengi dengan kesadaran bahwa diatas kebenaran tersebut ada kebenaran orang banyak. Sulit akan naik ke level kebenaran kedua.

Apalagi permasalahan baru muncul dan memanas setelah Habib Rizieq Shihab (HRS) yang merupakan pentolan ormas Front Pembela Islam (FPI) berstatus sebagai tersangka dalam kasus dugaan pornografi dengan Firza Husein (FH) lewat chat mesum WA, dimana pihak FH sudah ditahan. Kondisi tersebut semakin memanas ketika HRS berada di luar negeri (Arab Saudi) dan tidak menghiraukan panggilan kepolisian dengan alasan perlawanan karena berkeyakinan bahwa kasus tersebut adalah rekayasa. Kondisi seperti ini tak baik, bukannya semakin mendewasakan kita sebagai manusia yang bernegara maupun ber-Islam, malah terkesan 'kuat-kuatan' antara pemerintah (elit politik) dengan rakyat/ malah elit politik yang lainnya.

Sebenarnya saya malas menulis terkait kondisi seperti ini, karena saya melihat mereka yang sekelas tokoh nasional saja tak mampu mendinginkan situasi yang ada, apalagi saya. Namun, saya sejatinya tidaklah berada pada pilihan netral karena saya turut dalam bagian orang-orang yang berdo'a kepada Allah SWT agar segera ditampakkan kebenaran yang nyata sehingga tak bisa dibantah lagi dan menjadi polemik baru.

Oleh karenanya, saya pribadi tak mau memposisikan dimana keberpihakan saya berada, karena saya tak mau berada di pihak keduanya. Sudah semestinya mereka yang mencintai kebenaran dan merindukan kesejahteraan untuk hadir-muncul dan menyuarakan ketentraman secara nasional. Bara itu janganlah ditambah lagi dengan kayu-kayu kering, apalagi disiram dengan bensin.

Mari simpan sendiri kebenaran-kebenaran kita ini, karena sebenarnya kebenaran bukanlah untuk diperdebatkan. Kebenaran itu haruslah kita proses menjadi output-output berupa kebaikan, kerukunan, ke-welas asihan, kesopanan, keselamatan bagi orang-orang disekitar kita. Dengannya, kebenaran itu tak lagi layak untuk diperdebatkan karena kebenaran itu telah menjadi sebenar-benarnya kebenaran.

Semoga Allah SWT selalu menunjukkan kita jalan yang lurus dan diridhoi-Nya. Aamin.

(Lumajang - 20:13)

Kita dan Kritik

Anton Ego - Ratatouille film
Sumber: google.com


Jika kritikan itu baik, maka terimalah sebagai kebaikan.
Dan jika kritikan itu buruk, maka terimalah sebagai sikap yang memperbaikimu - menjadikanmu lebih baik.


Jika kritikan itu membangun, maka terimalah sebagai kepedulian.
Dan jika kritikan itu merusak, maka terimalah sebagai badai yang mengokohkanmu - menjadikanmu lebih hebat.


Jika kritikan itu menyadarkanmu dari kelemahanmu, maka terimalah sebagai kekuatan.
Dan jika kritikan itu melemahkanmu, maka terimalalah sebagai tekanan yang akan menguatkanmu - menjadikanmu lebih rendah diri.


Karena sejatinya manusia adalah makhluk yang lemah, dan kesadaranmulah yang akan menguatkanmu untuk bangkit.

Kita dan Masa Depan

Future world is on my hand
(Image source: google.com)



Manusia memang makhluk yang diciptakan khusus oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Bagaimana tidak, ia mampu berpikir dalam merespon kehidupannya. Ia dapat membuat berbagai macam pilihan yang menentukan akan kemana ia melangkah dan melanjutkan kehidupannya.

Namun, ternyata tak sedikit dari manusia yang cemas terhadap masa depannya. Masa depan memang hal yang sulit diprediksi, dibayangkan dan bahkan banyak dibiarkan berlalu begitu saja oleh banyak manusia yang lain. Tentulah sebuah hal khusus yang dibutuhkan untuk memprediksi dan memperkirakan masa depan.

Masa depan memang sulit untuk diprediksi, namun masa depan bukan berarti tidak bisa sama sekali untuk diperkirakan. Tentu melalui berbagai analisa dan pemahaman yang serius dan sungguh-sungguh.

Hanya orang-orang tertentu saja yang berhasil mendekati apa yang ia prediksikan tentang masa depannya. Namun, perlu kesadaran hati bahwa opsi masa depan yang telah ia buat juga tak sedikit. Banyak perencanaan yang telah ia rancang dan siapkan.

Dan jika ia menghadapi sesuatu hal yang tak sesuai dengan prediksi awalnya, ia tak menyerah. Ia masih mempunyai cukup pilihan untuk tetap melanjutkan hidupnya.

Ia tak hanya mengikuti perkembangan dunia, tapi ia juga turut mengisi dan mewarnai perkembangan dunia. Ia hanya percaya satu hal: hidup harus berlanjut, dan kerja keras adalah satu-satunya pilihan!.

Percayalah, mereka adalah orang-orang yang bekerja keras. Tak sebatas bekerja saja, mereka juga adalah orang-orang yang memiliki visi dan impian.

Merekalah orang-orang yang mewarnai perkembangan dunia.

Maka, jika kita ingin perkembangan dunia ini mengarah kepada kebaikan, yang perlu kita lalukan adalah bekerja keras dengan visi dan impian yang baik.

Sebagaimana sebuah sistem pendidikan, maka karakter dan budaya untuk bekerja keras disamping memiliki visi besar dan impian mulia adalah goal daripada pendidikan itu sendiri.
Inspirasi itu ada dan bisa kita temukan setiap harinya.

Kecemasan terhadap masa depan, hanya akan membuat kita ragu-ragu dan akhirnya berhenti bergerak.

Bukankah kehidupan itu sendiri adalah ketidakpastian?

Kita, sebagai manusia telah meyakini bahwa dunia ini fana dan hanya sementara. Masih ada hari akhir dan dunia baru nan abadi yang kelak akan kita masuki. Maka, daripada cemas terhadap masa depan kita selama di dunia fana ini, pilihan satu-satunya adalah terus bergerak dan berbuat semampunya. Harus percaya bahwa Tuhan akan membantu umatnya yang bersungguh-sungguh. Apalagi mereka yang berbuat baik dan bermanfaat bagi sesamanya. Tuhan mencintai umat yang seperti itu. Itulah kebaikan yang diajarkan Tuhan lewat berbagai cerita pada setiap zaman.

Mereka yang sibuk dengan dirinya sendiri, hanya akan membuat kehidupannya sesempit batasan yang ia ciptakan. Padahal, dunia ini luas dan berwarna-warni. Ada banyak orang yang jauh lebih susah dari kita, dan ada pula yang sebaliknya.

Moral sebagai manusia, harus terus kita pupuk agar berbenih kebaikan dan menciptakan kebaikan lain pada sesama manusia. Siklus kebaikan itu harus kita rawat dengan ikut andil didalamnya. Batasan-batasan yang kita ciptakan, sesungguhnya bukanlah batasan sebenarnya dari potensi yang telah Tuhan takdirkan pada kita.

Melalui kerja keras, maka kita sendiri akan menemukan dimana batas kita sesungguhnya. Tentu ini tak melulu tentang jenis pekerjaan yang kita tekuni, tapi lebih kepada kerja-kehidupan seperti apa yang kita lakukan setiap harinya.

Sebagaimana bijih mineral, ia akan bernilai setelah melalui proses panjang pengolahan dan peleburan sampai tahap pemurnian menjadi logam yang menyenangkan hati. Maka, untuk mencapai kemurnian itu tak akan bisa kita raih secara instan. Ada proses panjang yang harus kita lalui, dan tentu bermacam-macam bentuknya.


[20:17 - Warung Giras Gondanglegi, Beji - Pasuruan]




Kita dan Klaim


(sumber gambar: google.com)


Menarik memang mencermati kebiasaan manusia yang satu ini: klaim. Nah, jika Anda juga tertarik dengan topik 'klaim', ijinkan saya untuk berbagi sudut pandang terlebih dahulu ke Anda. Mari kita simak tautan berikut,

Klaim dalam KBBI sebagai berikut:
klaim n 1 tuntutan pengakuan atas suatu fakta bahwa seseorang berhak (memiliki atau mempunyai) atas sesuatu: pemerintah Indonesia akan mengajukan -- gantu rugi kpd pemilik kapal asing itu; 2 pernyataan tt suatu fakta atau kebenaran sesuatu: ia mengajukan -- bahwa barang-barang elektronik itu miliknya;
meng·klaim v 1 meminta atau menuntut pengakuan atas suatu fakta bahwa seseorang (suatu organisasi, perkumpulan, negara, dsb) berhak memiliki atau mempunyai hak atas sesuatu: ada negara lain yg ~ kepulauan itu; 2 menyatakan suatu fakta atau kebenaran sesuatu: pemerintah baru ~ bahwa tokoh politik itu meninggal krn bunuh diri;
peng·klaim n orang yg mengklaim;
peng·klaim·an n proses, cara, perbuatan mengklaim

Jadi, kalau dipahami secara awam, kita akan bersepakat bahwa klaim adalah tindakan mengaku dari seseorang atas sesuatu hal yang ia rasa berhak miliki.

Klaim cukup merepotkan, bukan? Bagi Anda yang pernah merasakan (betapa repotnya berurusan dengan orang yang suka mengklaim) tentu membuat Anda berharap tak berurusan kembali di masa depan.

Banyak hal yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan berbagai macam klaim. Namun yang jelas, mayoritasnya adalah karena masalah sosial. Saya kira status sosial, lebih tepatnya sosial-ekonomi, menjadikan banyak manusia untuk saling klaim.

Tetangga Anda, bisa jadi mengklaim bahwa anaknya adalah anak yang sholeh dan sholehah daripada yang lainnya dalam lingkungan RT. Tentu dengan berbagai alasan yang mendukungnya.

Banyak sekali contoh klaim dalam kehidupan sekitar kita. Mulai dari yang terkecil di lingkungan keluarga, sampai klaim yang melibatkan perseteruan antar negara. Kasus laut China selatan, misalnya.

Apakah klaim selalu buruk? Saya rasa, ini pertanyaan strategis yang menarik untuk dibuktikan jawabannya. Faktanya, klaim dalam berbagai tingkatan kehidupan masyarakat-negara, selalu menimbulkan konflik yang berujung tindak kekerasan dan hal merugikan lainnya. Belum lagi kalau proses hukum dijalankan. Umumnya memakan waktu yang tak sebentar, biaya yang tak sedikit, dan hasil yang belum tentu memuaskan. Karena, klaim adalah bagian dari penyakit hati (saya kira).

Opini saya, seandainya klaim itu tidak termasuk dalam penyakit hati tentunya berbagai masalah yang ditimbulkannya dapat diatasi secara hukum, lebih baik lagi jika secara kekeluargaan bisa selesai. Namun, karena termasuk dari penyakit hati (saya menduga) maka berbagai bentuk hasil putusan atas klaim selalu menimbulkan efek turunan yang muncul di kemudian hari. Seperti diwariskan.

Apakah bisa seseorang menghindari klaim? Pasti bisa, dengan kesungguhan dan kesadaran diri bahwa kita hanyalah manusia ciptaan Tuhan. Semua yang kita miliki, termasuk pikiran kita, sesungguhnya adalah milik Tuhan YME. Jika sudah sampai pada tahap itu, maka manusia mulai mengerti dan memahami, betapa ia telah banyak melakukan kesalahan dan perbuatan yang sia-sia selama ini.

Klaim dalam dunia riset juga tak kalah maraknya. Pemainnya adalah para intelektual dan pemikir. Peneliti satu mengklaim, bahwa temuannya adalah yang orisinil dan mutakhir. Disisi lain, peneliti lainnya juga mengklaim demikian. Bahkan ada yang sampai mengklaim bahwa klaimnya atas suatu penelitian telah diklaim oleh peneliti lain. Kesemuanya itu, lagi-lagi masalah sosial-ekonomi.

Tentu ini sulit. Apalagi diwilayah agama pun, para pemukanya saling mengklaim sebagai yang paling benar.

Kalau sudah begini, apakah klaim saya tidaklah berlebihan?















MENUJU VISI KETELADANAN


(sumber gambar: google.com)


Mari kita berbicara tentang visi.

Visi hidup seseorang, tak terlepas dari sifat dan kepribadian yang ada dalam diri seseorang itu sendiri. Oleh karenanya, tak setiap visi itu baik. Ada juga visi yang buruk: karena merugikan orang lain dan lingkungan, misalnya.

Lalu, bagaimana cara memastikan bahwa kita sudah benar dalam membuat visi (yang baik)?

Hal sederhana yang bisa kita lakukan adalah mengeceknya kembali. Apakah visi yang kita buat tersebut tidak merugikan orang lain dan juga diri sendiri. Hal itu sebaiknya kita dahulukan, sebelum menentukan dan membedah terkait manfaat-manfaat yang mungkin akan ditimbulkan.

Bagi saya pribadi ini penting dan mendasar. Meski pada kenyataannya ada juga yang lebih mementingkan manfaatnya yang besar, daripada kerugian dan kemudaratan yang ditimbulkan.

Daripada yang terakhir, saya lebih memilih yang pertama.

Dengan menjadikan visi tak merugikan banyak orang, mungkin kita hanya mendapatkan keuntungan dan kebermanfaatan yang kecil. Namun, saya percaya bahwa visi yang baik itu masih bisa kita tingkatkan dan kembangkan secara berkesinambungan kedepannya.

Bayangkan jika kita sudah mematok visi sedemikian rupa dan meyakini bahwa visi tersebut akan lebih banyak menimbulkan manfaat daripada mudharat, ketika suatu waktu terjadi hal yang tak diinginkan, maka gugurlah perjuangan yang sudah diusahakan untuk merealisasikan visi. Orang merasa dirugikan. Orang akan memberikan penilaiam negatif. Meski sebenarnya banyak manfaat yang bisa mereka dapatkan.
+