Connecting the Dots

Showing posts with label essay. Show all posts
Showing posts with label essay. Show all posts

Salah Kaprah Passion


Kata passion memang sudah menjadi mantra. Mau tidak mau, mainstream anak mudah kita saat ini akan terpengaruh dan mungkin juga terinspirasi oleh banyaknya tokoh inspiratif yang mempromosikan kata tersebut. Secara harfiah bisa jadi betul bahwa passion bisa menjadi kunci meraih kesuksesan. 

Saya nyatakan sebagai bisa jadi betul karena banyak hal di dunia ini yang terjadi secara kebetulan.

Namun, jika kita bertanya dan coba selidik ke orang-orang generasi terdahulu dimana mereka tidak mendapatkan promosi perihal kata "passion" maka sudah tentu mereka akan menjawab bahwa bukan passion lah kunci mereka meraih kesuksesan.

Misalnya jika bertanya ke Dahlan Iskan yang punya bisnis Jawa Pos Group. Jelas bukan passion jawaban yang akan disampaikannya. Atau ke Ciputra. Apalagi ke keluarga Sampoerna atau Hartono.

Teman-teman saya yang Tionghoa juga kurang begitu menerima jika promosi "passion" dijadikan semacam mantra dan jalan menuju kesuksesan. Di keluarga, mereka diajarkan bahwa untuk meraih kesuksesan adalah harus memiliki mental mandiri, mental yang kuat dan mental pemenang. Yang jika dipecah dapat kita bagi-bagi menjadi beberapa sifat seperti visioner, disiplin, gesit, fokus, dan totalitas. Maka kata "passion" tidak dimasukkan kedalam kamus untuk meraih sukses.

Saya nyatakan bisa jadi betul juga karena definisi terkait sukses itu berbeda-beda untuk setiap kepala. Maka sebenarnya juga tidak masalah jika ada banyak orang yang menjadikan "passion" sebagai landasan untuk meraih sukses yang dibayangkannya. 

Namun sebagai pemikiran, maka saya rasa perlu untuk menuliskannya dan mempermasalahkannya.

Hipotesisnya adalah tidak benar bahwa passion adalah kunci meraih sukses. Namun sayang sekali metoda penelitiannya tidak ilmiah dan hanya berbasis subjektifitas. Oleh karenanya, jika Anda tidak setuju dengan hipotesis saya diatas, sebaiknya jangan meneruskan untuk membacanya. 

Menurut saya, banyak yang salah kaprah terhadap "passion". Karena dimensi "passion" itu akan membuat Anda sulit untuk naik kelas. Passion membuat Anda terbatas. Ia mengekang Anda. Ia membuat Anda tak sadar telah membangun pagar untuk diri Anda. Sementara ada banyak sekali tanah tak berpenghuni di luar sana yang siap untuk Anda takhlukkan, kalau tak boleh disebut siap untuk Anda jajah.

Maka saya kurang tertarik sejak dulu terhadap siapa saja yang mempromosikan kata "passion" sebagai jalan ninja-nya.

Jangan Kasih Kendor, Bang Jon!

#15HariCeritaEnergi

Gambar Bang Jon
(sumber gambar: Asia Times)

Pendahuluan 

(www.esdm.go.id) - Di hari kelima dalam serangkaian 15 Hari Cerita Energi (#15HariCeritaEnergi) kali ini, penulis ingin bercerita mengenai potensi dan pemanfaatan biomassa sebagai sumber energi dalam pembangkit listrik. Lebih dikenal sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa atau disingkat dengan PLTBm.

Pemilihan untuk membahas biomassa (sebagai salah satu sumber energi terbarukan) untuk pembangkit listrik dikarenakan pelaku usaha di sektor energi yang mengembangkan dan memilih investasi di bidang ini ternyata sudah cukup banyak.

Selain itu, penulis disini juga cukup tertarik dengan potensi pelet kayu (wood pellet) yang juga memiliki nilai ekspor yang baik di pasar internasional. Ceritanya penulis pernah berkunjung dan mempelajari secara langsung terkait proses pembuatan pelet kayu yang kemudian akan dijual sebagai bahan bakar.


Potensi dan Pemanfaatan Bioenergi: Bagian I

Mengacu kepada UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi, disebutkan bahwa yang termasuk dalam sumber energi terbarukan antara lain panas bumi, bioenergi, angin, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut [1]. Sebelumnya penulis sudah membahas terkait potensi dan pemanfaatan panas bumi sebagai solusi untuk mencapai target 23% penggunaan EBT pada porsi bauran energi final Indonesia pada tahun 2025 nanti. Bagi agan yang belum sempat membacanya, bisa simak tulisan saya sebelumnya di  Melipir ke Energi Panas Bumi, Bang Jon!.

Dan sekarang penulis coba untuk membahas terkait bioenergi.

Secara pribadi sebenarnya penulis lebih akrab dengan kata biomassa, karena sejak SMP sudah dikenalkan dengan istilah ini pada pelajaran ilmu alam atau Biologi. Dan ternyata, penjabaran dari energi bio ini tak terbatas pada biomassa saja namun juga biofuel dan biogas. Intinya, sama. Berasal dari makhluk hidup.

Energi bio sendiri merupakan segala sesuatu yang bersumber dari makhluk hidup. Bisa dari tumbuhan, hewan, maupun manusia. Namun dalam hal pemanfaatannya sebagai sumber energi, maka dibagi menjadi tiga klasifikasi yakni biomassa, biofuel dan biogas. Dan tulisan kali ini berfokus pada potensi dan pemanfaatan biomassa sebagai sumber energi.

Berbicara tentang biomassa, penulis jadi teringat lagunya Koes Plus yang berjudul Kolam Susu. Terutama pada bait yang terakhir.
Orang bilang tanah kita tanah surga..
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman..
Orang bilang tanah kita tanah surga..
Tongkah kayu dan batu jadi tanaman..

Yep, sudah menjadi rahasia umum bahwa tanah Indonesia adalah tanah surga. Berbagai jenis flora dan fauna tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia dengan keanekaragaman hayati yang terbesar dunia. Indonesia sendiri memiliki kawasan hutan dengan luas kira-kira 120 juta hektar yang juga memiliki potensi sumber biomassa disamping sebagai sumber daya alam dan penyangga kehidupan. Sebagai sumber energi, biomassa tergolong lebih baik daripada jenis sumber energi lainnya seperti angin, arus laut, dan panel surya.

Biomassa sendiri banyak dimanfaatkan sebagai bahan bakar pada pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm). Dengan sistem pengoperasian pabrik yang sama seperti pada pembangkit listrik berbahan bakar batubara, menjadikan PLTBm sebagai pilihan yang menarik bagi pelaku usaha di sektor energi terbarukan karena proyeksi keuntungan atau profit yang baik bila dibandingkan dengan panel surya, kincir angin, atau memanfaatkan tenaga arus laut.

PLTBm di Indonesia sendiri didominasi oleh sumber biomassa berbasis wood pellet. Limbah berupa cangkang sawit dan tongkol jagung dapat dimanfaatkan untuk membuat pelet kayu ini, yang selanjutnya digunakan sebagai bahan bakar di PLTU. Dalam tulisan-tulisan sebelumnya juga sudah diberikan contoh dan informasi bahwa Growth Steel Group (GSG) sebagai perusahaan swasta juga sudah memiliki 5 PLTBm dan saat ini sedang berencana untuk membangun 5 PLTBm lagi yang baru. Bahan bakar yang digunakan adalah pelet kayu berbasis limbah cangkang sawit dan tongkol jagung itu tadi. Juga campuran serbuk kayu seperti mahoni, dan lain-lain.

Pemilihan biomassa sebagai sumber energi listrik tentu memiliki permasalahan. Permasalahan itu adalah terkait dengan ketersediaan bahan baku.

Dengan penggunaan bahan organik, maka perencanaan supply and demand bahan baku penting untuk direncanakan dengan sebaik mungkin karena umur bahan baku biomassa memerlukan waktu pertumbuhan yang tidak sebentar. Apalagi kebanyakan sumber biomassa adalah bahan baku pangan semisal sawit, jagung, tebu, padi, dan ubi kayu. Akhirnya harus bergantung pada masa panen. Dan berakibat pada beberapa perusahaan yang mengalami kesulitan bahan baku.

Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), diberikan data bahwa pengembangan sumber biomassa pada tahun 2015 sebesar 5,6 juta ton dan diproyeksikan meningkat menjadi 8,4 juta ton pada tahun 2025 untuk memenuhi target 23% penggunaan EBT dalam porsi bauran energi final [2].

Jika dilihat sekilas, mungkin bisa mencapai angka 8,4 juta ton biomassa tersebut. Namun penulis belum menemukan data terbaru berapa angkat pemanfaatan biomassa sampai dengan saat ini. Maka, jika agan-agan pembaca memiliki informasinya, boleh share di kolom komentar ini. Tentu akan membantu penulis dan dapat menambah wawasan.

Kan begini yang menjadi persoalan dalam kondisi kekinian: pertumbuhan penduduk.

Dalam hal ini penulis tidak bermaksud menyalahkan pertumbuhan penduduk, namun rasanya masuk akal jika pertumbuhan penduduk tentu akan mengurangi lahan-lahan yang ada. Mungkin sebelumnya berupa persawahan dan pertanian, sekarang sudah banyak yang menjadi kawasan perumahan. Hutan-hutan pun juga sudah banyak yang dibuka. Pembebasan lahan untuk infrastruktur, dan sejenisnya. Tentu hal ini akan mempengaruhi sumber daya biomassa yang berupa pangan (jagung, tebu, padi, dan ubi kayu) dan kayu, bukan?

Dan ternyata, dalam RUEN sudah diberikan gambaran bahwa untuk mencapai sasaran pengembangan pembangkit listrik tenaga biomassa ini, kegiatan yang dilakukan pemerintah adalah menggalakkan budi daya tanaman-tanaman biomassa non-pangan.

Sialnya, entah karena penulis malas mencari sumber terbaru atau memang nyatanya belum ada sama sekali, sejak eranya Pakde Joko menjadi hokage publikasi dan berita terkait strategi ini tidak penulis dapatkan. Baik dari sumber primer maupun sekunder.

Penulis pernah berbincang dengan pelaku usaha bisnis pelet kayu di pabriknya yang hanya seluas 10x20 meter. Dan dengan luas itu sudah bisa menghasilkan pelet kayu dengan kapasitas 800 kg/jam. Padahal, bahan baku pelet kayu yang digunakan bukanlah bahan baku pangan seperti limbah cangkang sawit, sekam padi, atau serbuk gergaji kayu.

Bahan baku yang dipakai adalah tanaman biomassa non-pangan, yakni Kaliandra Merah. Penulis mengetahui potensi luar biasa tanaman yang bisa tumbuh di segala jenis tanah ini; masa tanam sebentar; dan terus tumbuh meski sudah dipotong batangnya, karena terinspirasi dari Abah Dahlan Iskan yang juga orang Surabaya. Karena itu, penulis berinisiatif untuk melihat secara langsung potensi dan memang benar, sangat menggembirakan sebenarnya. Tanaman Kaliandra dan lahan tetap milik kelompok tanai, yang nantinya akan dibeli pabrik. Jadi, pengusaha pelet kayu tersebut tidak menguasai keseluruhan proses bisnis dengan memiliki tanah dan kebun sendiri, tetapi pemerataan bisnis dengan melibatkan masyarakat. 

Terlepas dari keinginan kuat pemerintah saat ini yang ingin menegakkan jargonnya - Energi Berkeadilan - lewat pemerataan dan peningkatan rasio elektrifikasi, amanat RUEN untuk menciptakan pembangunan energi yang berwawasan lingkungan juga harus tetap menjadi prioritas.

Jika sebelumnya penulis berkesimpulan bahwa pilihan pertama untuk mencapai target 23% adalah dengan melipir ke energi panas bumi, maka dalam tulisan kali ini penulis berharap agar pemerintah jangan kasih kendor terkait pengembangan dan pemanfaatan potensi biomassa sebagai sumber energi. Apalagi setelah regulasi Permen ESDM RI No. 12/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik yang mengatur besaran tarif yang dibeli oleh PLN dari pelaku usaha sempat mendapatkan protes dan penolakan karena besaran tarif tersebut kurang menarik dan pengembang merasa rugi.

Dan lagi, untuk Bang Jon, Energi Berkeadilan bukan hanya tentang rasio elektrifikasi yang meningkat, bukan?

Multiplier effect seperti pemerataan peran dengan menciptakan lapangan kerja baru, misalnya dengan melibatkan masyarakat sekitar untuk menyediakan bahan baku juga bisa menjadi bentuk penerjemahannya. Sehingga semuanya tidak harus menjadi milik dan dikuasai pelaku bisnis. (*AG)

#15HariCeritaEnergi #KementerianESDM #EnergiTerbarukan #EnergiPanasBumi


Referensi:

[1] Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 tentang Energi
[2] Peraturan Presiden RI Nomor 22 Tahun 2007 tentang Rencana Umum Energi Nasional

Melipir ke Energi Panas Bumi, Bang Jon!


Foto Bang Jon (Ignasius Jonan)
(sumber: CNN Indonesia)


Pendahuluan

(https://www.esdm.go.id/) - Di hari keempat dalam serangkaian 15 Hari Cerita Energi (#15HariCeritaEnergi) kali ini, penulis akan mulai mengulas tentang potensi dan pemanfaatan jenis-jenis sumber Energi Baru Terbarukan (EBT) yang ada di Indonesia. Sudah tiga tulisan yang kami buat sebagai awalan. Jika diibaratkan sebagai tubuh manusia, maka ketiga tulisan sebelumnya kami gambarkan sebagai kepala karena lebih bersifat sebagai ajakan untuk berpikir bersama.

Sementara itu, dalam tulisan ke-empat kali ini sampai ke-sebelas (nanti) kami gambarkan sebagai badan.  Penulis harap bisa menjadi dasaran kita - khususnya saya pribadi - untuk tetap mantap dan optimis mengenai penerapan dan pengembangan energi terbarukan di Indonesia.


Tujuan itu Mulia Sekali

Masih hangat di ingatan kita, tiga hari yang lalu Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraannya di Gedung MPR-DPR-DPD menyebutkan bahwa rasio elektrifikasi nasional saat ini sudah mencapai angka 92 persen.
Dalam mendukung pemerataan, Pemerintah juga mendorong peningkatan rasio elektrifikasi nasional yang mencapai 92 persen pada bulan Maret tahun 2017. Dalam sidang yang terhormat ini, saya ingin menyampaikan ucapan selamat kepada warga Desa Wogalirit, Kecamatan Doreng, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, setelah 72 tahun merdeka, sekarang akhirnya bisa menikmati layanan listrik. Selamat juga untuk warga desa-desa lain di seluruh Tanah Air, yang tahun 2017 ini bisa menikmati layanan listrik. - Presiden Joko Widodo
Tentu berita diatas sangat menggembirakan bagi mereka yang benar-benar baru menikmati listrik. Juga sempat menjadi trending topic di media sosial beberapa hari lalu.

Sebenarnya, dalam tulisan kali ini kita orang mau melihat potensi dan pemanfaatan panas bumi yang ada di Indonesia. Tapi setelah membaca banyak referensi dan publikasi (populer maupun ilmiah), rasanya jadi pengen berhenti nulis aja. Padahal ke-15 judul sudah ditetapkan. Masalahnya yanh mau dibahas sudah ada di Prof. Google semua kok, dan lengkap. So, dalam tulisan kali ini kita orang hanya mencoba untuk menyalurkan passion terkait energi terbarukan saja dan juga melihat dengan perspektif non-pemerintah. Soalnya juga kita orang bukan jurnalis.

Memang kalau dipahami secara mainstream, aturan pemerintah yang dikeluarkan awal tahun 2017 lalu tentang besaran tarif tenaga listrik yang dibeli oleh PLN dari pembangkit listrik bersumber energi terbarukan (Permen ESDM No. 12/2017), yang hanya maksimal 85% dari BPP Pembangkitan, menimbulkan ke-engganan pelaku bisnis di bidang energi terbarukan. Mereka juga pada protes ke Presiden karena harganya yang kurang menarik. Namun, Bang Jon dan Pakde Joko ini sepertiny memang cukup berani. Tuntutan agar merevisi aturan tersebut tidak dihiraukan. Meski memang ada revisi, yakni dengan dikeluarkannya Permen ESDM 43/2017, namun untuk besaran tarif yang ditetapkan pemerintah tidak berubah. Apalagi subsidi listrik kelas 900 MVA dicabut.

Tujuan untuk mengelola energi secara adil dan merata, patut kita apresiasi. Terlihat dari jawaban Bang Jon dalam merespon protes para pelaku bisnis energi terbarukan terkait aturan tarif diatas. Pemerintah memang sedang mengejar target untuk meningkatkan rasio elektrifikasi di Indonesia sebagai bentuk pengartian atas energi berkeadilan.


Nasib Energi Terbarukan dan Target 23% pada Tahun 2025

Pemerintah saat ini juga mengakui bahwa target kontribusi EBT yang sebesar 23% dari porsi bauran energi final pada tahun 2025 sulit dicapai [1, 2], meski begitu pemerintah masih terlihat optimis untuk tetap bekerja dan melakukan berbagai strategi turunan agar bisa mencapainya. Meski pada kenyataannya, akhir tahun 2017 ini porsi EBT kita hanya di kisaran 8-9% yang artinya masih jauh untuk sampai ke angka 23% diatas [2].  Sementara itu, minat investasi di bidang energi terbarukan dari pihak swasta jelas mengalami kelesuan akibat aturan tarif tenaga listrik energi terbarukan yang hanya sebesar 85% BPP Pembangkitan.

Bang Jon, sepertinya harus membuat terobosan baru. Toh pada tahun ini juga, Perpres Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sudah ditandatangani oleh Pakde Joko sebagai bentuk penjabaran dan rencana pelaksanaan untuk mencapai sasaran Kebijakan Energi Nasional [3].

Dalam peraturan itu sudah jelas disebutkan bahwa Kebijakan Energi Nasional (KEN) adalah kebijakan pengelolaan energi yang berdasarkan prinsip berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan guna terciptanya kemandirian energi dan ketahanan energi nasional. Yang jadi tantangan di lapangan adalah bagaimana merealisasikan arah kebijakan ini?

Dalam RUEN sebenarnya sudah dibahas dan dijelaskan mengenai gambaran strategi dari pemerintah, dan dapat disimpulkan bahwa target-target itu bisa dicapai.

Penulis disini hanya bermaksud untuk mencari gambaran, kira-kira apa yang sebaiknya dilakukan oleh semua pihak yang berkecimpung di bidang energi, khususnya pelaku usaha di bidang energi terbarukan, jika pada kenyataannya minat investasi energi terbarukan saat ini menjadi lesu?

Saat ini terlihat pemerintah lebih fokus untuk mencapai energi yang berkeadilan, lewat program rasio elektrifikasinya.


Melipir ke Energi Panas Bumi

Jika melihat arah KEN, dan lesunya minat investasi swasta di bidang energi terbarukan saat ini, penulis berkesimpulan bahwa peluang untuk mencapai target 23% penggunaan EBT pada tahun 2025 nanti hanya bisa dilakukan dengan memaksimalkan potensi energi panas bumi (geothermal energy) yang kita miliki. Mungkin bisa dipercepat jika kita sudah menguasai teknologi nuklir, dan tentunya diperlukan keberanian untuk itu. Tetapi, sepertinya belum. Oleh karenanya, satu-satunya harapan dan mungkin juga langkah yang akan dikerjakan adalah memilih energi panas bumi.

Arah KEN jelas: untuk menciptakan ketahanan energi nasional. Disisi lain, pertumbuhan penduduk kita juga semakin besar. Apalagi didominasi oleh generasi muda karena kita sedang menghadapi bonus demografi sampai dengan 2030 nanti. Dan juga Indonesia adalah negera terbesar ke-empat di dunia. Penduduk yang banyak, berbanding lurus dengan konsumsi energi. Apalagi wilayah Indonesia yang luas juga turut mempengaruhi. Hal ini bisa dilihat dari posisi transportasi yang menempati urutan kedua pengguna energi terbanyak, dibawah industri.

Yang tidak boleh dilupakan bahwa untuk menciptakan ketahan energi nasional, selain energi berkeadilan lewat rasio elektrifikasinya, adalah pemerintah juga harus memprioritaskan pembangunan energi yang berwawasan lingkungan. Hal ini tentu bisa dicapai dengan penggunaan energi terbarukan itu tadi.

Panas Bumi solusinya.

Potensinya yang cukup besar, dan bisa dimanfaatkan dengan baik karena teknologinya sudah proven dan energi yang dihasilkan stabil, menjadikan panas bumi dapat sebagai pilihan pertama untuk mencapai target 23% itu.

Dari 29 GW potensi panas bumi yang Indonesia miliki, saat ini hanya tergunakan kurang dari 2 GW saja. Apalagi potensi panas bumi kita yang tersebar meluas di sepanajang jalur gunung api mulai dari wilayah barat pulau Sumatera, Selatan pulau Jawa, hingga ke Flores. Tak kurang dari 324 titik panas bumi tercatat oleh pemerintah sebagai potensi yang bisa dikembangkan menjadi energi listrik.

Nah, jika ingin mencapai target tersebut pemerintah perlu mempercepat realisasi pembangunan PLTP di daerah-daerah dengan potensi panas bumi. Bukankah salah satu misi yang tersebut dalam RUEN adalah melakukan akselerasi penggunaan EBT?

Jika tidak segera dilakukan (diakselerasi), maka pada tahun 2025 (dari perspektif kondisi kekinian) sulit bisa dicapai angka 23%. Pembangunan PLTP mulai dari eksplorasi sampai dengan COD kira-kira memakan waktu 5-6 tahun. Selain itu, pemerintah sepertinya harus meyakinkan para investor di sektor energi agar berminat invest di bidang energi panas bumi ini. Karena strategi dan langkah pemerintah yang melakukan pelelangan Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) sebagai syarat yang harus dimiliki, sepertinya belum terlalu menarik bagi pelaku usaha  di sektor energi terbarukan.

Ayok, ikut Bang Jon melipir ke Energi Panas Bumi.





#15HariCeritaEnergi #KementerianESDM #EnergiTerbarukan #EnergiPanasBumi



Referensi:

[1]     www.esdm.go.id/
[2]    Wardani, R. 2017. Demonstrasikan Peluang Tercapaianya 23% Bauran Energi Terbarukan di 2025, Indonesia-Jerman Luncurkan Proyek Kerjasama. Jakrta: http://ebtke.esdm.go.id
[3]     ___________. 2017. Tetap Optimis Kembangkan Panas Bumi Indonesia, KESDM dan API Selenggarakan The 5th IIGE 2017. Jakarta: http://ebtke.esdm.go.id
[4]     Peraturan Presiden RI Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional.  









Membaca Fenomena Disruption pada Industri Energi Terbarukan

Tesla Model S
(sumber gambar: www.tesla.com)
"Kami tidak melakukan kesalahan apapun; tiba-tiba kalah dan punah."
Stephen Elop (Nokia)


Pendahuluan

Di hari ketiga dalam serangkaian 15 Hari Cerita Energi (#15HariCeritaEnergi) kali ini, penulis akan menyajikan pandangan-pandangan yang mencoba untuk memperkuat landasan berpikir mengenai penerapan dan pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia. Sebelumnya telah dijelaskan mengenai permasalahan dalam penerapan dan pengembangan energi terbarukan di Indonesia, dengan disertai informasi kondisi kekinian dan fakta yang mengikutinya. Untuk lebih lengkapnya bisa sobat energi baca di Kondisi, Fakta dan Permasalahan Energi Terbarukan di Indonesia.

Dalam tulisan ini, penulis akan memberikan wawasan dan pandangannya mengapa pengembangan energi terbarukan terasa lambat, yang kemudian akan diketemukan dengan contoh-contoh lapangan. Dan bisakah energi terbarukan menjadi sebuah fenomena disruption baru di abad ini?

Tentu tulisan ini tidak mewakili kondisi riil di lapangan, namun bisa menjadi rujukan untuk memahami dan memproyeksikan wawasan mengenai energi terbarukan Indonesia di masa depan dengan pandangan saat ini.


Penggunaan Bahan Bakar Fosil di Masa Depan

Banyak tulisan berbasis opini yang saya baca di blog maupun media sosial, mengatakan bahwa cadangan minyak bumi kita akan habis sebelum tahun 2050. Di masa depan kita akan mengalami krisis energi. Dan solusi atas itu adalah mengembangkan dan menerapkan energi terbarukan sebagai sumber energi alternatif.  Pertanyaannya, apakah benar demikian?

Simak penjelasan berikut.

Badan Energi Internasional (International Energy Agency - IEA) yang berbasis di Perancis memperkirakan bahwa total pangsa pasar pembangkit listrik yang bersumber energi terbarukan (non-hidro dan nuklir) secara global hanya 17 persen pada tahun 2040, hal ini karena batubara (31 persen) dan gas alam (24 persen)  akan terus diproduksi dan digunakan sebagai sumber energi yang murah dan dapat diandalkan. Bahkan bisa lebih rendah dari angka 17 persen [1]. Ini data dari IEA. Perhatikan gambar 1 dibawah.
 
Gambar 1. Presentase Pembangkit Listrik Dunia berdasarkan Sumber Energi
(sumber: IEA, 2014)

Bisa jadi, perkiraaan IEA itu adalah alasan mengapa perkembangan energi terbarukan terasa lambat, terutama di Indonesia. Apalagi teknologi pengeboran minyak dan gas bumi semakin canggih dengan ditemukannya metode fracturing berbasis shale. Dan lagi, kebijakan Arab Saudi sebagai negara terbesar produsen minyak bumi yang akan menjual sebagian sahamnya di Saudi Aramco tahun 2020 nanti. Raja Arab sudah mampir ke negara kita kemarin, kan. Salah satunya adalah menawarkan potensi minyak tersebut.

Membaca informasi diatas tentu membuat kita sedikit berpikir, karena potensi Batubara dan Minyak Bumi di dunia masih sangat besar dan melimpah.

Meski begitu, penulis ingin memberikan pandangan bahwa sebenarnya pengembangan energi terbarukan bukan hanya terjadi di negara-negara maju saja. Di negara-negara berkembang pun mulai banyak dilakukan pembangunan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan.

Seperti yang dilaporkan McKinsey, negara-negara yang bergabung dalam Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) ternyata memiliki perkembangan energi terbarukan sebesar 4.6 persen tiap tahunnya [2]. Ini tentu kontradiksi dengan data dan informasi dari IEA diatas. Pun OECD sendiri ternyata didominasi oleh negara-negara berkembang. Dengan perkembangan sebesar 4.6 persen tiap tahunnya, tentu proyeksi penggunaan energi terbarukan di masa depan akan membaik. Bahkan diperkirakan dalam 25 tahun kedepan sejak tahun 2015 lalu, akan dicapai angka 43 persen pembangkit listrik berbasis energi terbarukan di Afrika; 48 persen di Asia; dan 63 persen di Amerika Latin. Asia sendiri telah memproyeksikan anak menambah sekitar 1587 pembangkit listrik baru berbasis energi terbarukan (non-hidro & nuklir).


Disruption pada Industri Energi Terbarukan

Sebenarnya, istilah disruption ini mulai populer di Indonesia sejak Prof. Rhenald Kasali menerbitkan buku yang berjudul Disruption, dan beliau juga sering menuliskannya di media baik cetak maupun elektronik. Meski begitu, contoh yang diberikan beliau, yang paling melekat di masyarakat dan tentu saja pembacanya adalah fenomena disruption pada industri taksi konvensional yang digantikan dengan taksi online. Akhirnya ketika bicara disruption, ingatnya gojek. Juga industri digital lainnya sehingga membuat beliau menjelaskannya berkali-kali [3].

Pun juga dalam bukunya [4], Disruption: Menghadapi Lawan-Lawan Tak Kelihatan dalam Peradaban Uber. Penjelasannya didominasi oleh wawasan yang berbasiskan pada industri digital karena memang beliau terinspirasi dari buku Alvin Toffler yakni The Third Wave yang diterbitkan pada akhir abad 20 lalu. Meski begitu, landasan berpikir dan cara berpikir disruption itu sebenarnya yang perlu kita dalami. Bukan pada contoh-contohnya, karena disruption bisa terjadi dalam bentuk apa saja.

Pertanyaannya: “Benarkah Energi Terbarukan dapat Memberikan Gangguan pada Sektor Energi?”

Pertanyaan ini dirasa cukup strategis mengingat industri batubara, minyak bumi dan gas alam adalah jenis energi yang ketersediaannya melimpah, harga yang murah, dan sudah terbukti andal. Selain itu, pelaku industri batubara, minyak bumi dan gas alam bukanlah lawan yang tak kelihatan. Bahkan jika memperhatikan informasi dari IEA pun, di tahun 2040 energi dunia masih di dominasi oleh sektor energi fosil.

Dengan senang hati penulis akan menjawab: benar dan bisa. Beberapa strateginya akan dibahas pada tulisan ke-13 dan 14. Namun, akan diberikan wawasan dan pandangan secara umum terkait membaca fenomena disruption pada industri energi terbarukan dalam tulisan ini.


Ciri Disruption dan pembacaannya di Industri Energi Terbarukan:

Terdapat beberapa ciri agar suatu industri bias menjadi sebuah disruption. Berikut ini merupakan cirri-ciri disruption dan kemudian akan diberikan penjelasan oleh penulis terkait industri energi terbarukan sebagai bentuk disrupsi.

1.   Dari kepemilikan perorangan menjadi berbagi peran/ kolektif-kolaboratif



Dalam tulisan kedua mengenai #15HariCeritaEnergi kemarin, penulis telah menjelaskan dan memberikan gambaran bahwa permasalahan penerapan energi terbarukan sebagaimana dikeluhkan beberapa pelaku bisnis adalah karena masalah pendanaan. Penulis juga sudah memberikan contoh bahwa ternyata di luar negeri semisal di Afrika, pengembangan EBT dilakukan dengan skema kerjasama multinasional dan juga investasi dari organisasi duni dan bank dunia. Dengan begitu, akan menyebabkan semakin banyaknya pihak yang ikut untuk mengembangkannya meskipun tidak di negaranya karena tujuannya bukan lagi untuk negaranya tapi untuk masa depan.



Masalah pendanaan sekali lagi bukan masalah. Nyatanya investasi di bidang energi terbarukan terbilang sangat kuat dan besar. Tercatat pada tahun 2015 investasi sebesar 286 milyar dolar untuk energi terbarukan dan diproyeksikan terus meningkat [5].



Contoh lainnya adalah PLTU Biomasa atau PLTBm yang dibangun oleh Growth Steel Group (GSG). GSG merupakan industri berbasis baja, namun telah memiliki 5 PLTBm dan masih berencana membangun 5 PLTBm di Sumatera, Jawa dan Kalimantan. GSG dengan lokasi yang strategis berhasil membangun kerjasama untuk menyerap limbah cangkang sawit dan tongkol jagung untuk dijadikan bahan bakar pada PLTBm. Sehingga, listrik yang dihasilkanpun bisa dijual ke PLN. Jadi masalah bahan baku bukanlah permasalahan utama dalam penerapan energi terbarukan ini sebagaimana disampaikan oleh Dirut PT EBI (BUMN) yang sudah dibahas pada tulisan sebelumnya.



Pembangkit listrik berbasis sampah kota pun juga cukup menarik, meski model bisnisnya  saat ini masih belum melibatkan masyarakat secara langsung. Di Surabaya sudah terdapat pembangkit listrik berbahan dasar sampah, sementara Jakarta juga sudah membangun pembangkit listrik sampah kota (Municipel Solid Waste). Singapura sudah punya lima. Bahkan Denmark impor sampah dari Perancis untuk pembangkit listriknya. Sementara itu beberapa negara pun tertarik untuk investasi pembangkit listrik sampah di Jakarta seperti Finlandia [6,7].



Saat ini sampah rumah tangga masih belum bernilai bagi kita, bahkan merepotkan. Namun, bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun kedepan sampah yang biasa kita buang dan tidak ada harganya malah bisa menghasilkan uang. Karena lahir industri baru yang membeli sampah (misal online dan ambil di tempat) untuk dipakai sebagai sumber listrik berbahan sampah yang mereka punya, misalnya. Bukan hal yang mustahil, kan?
  
2.   Proses Bisnis menjadi lebih hemat biaya dan lebih simpel

Jika digambarkan dengan bisnis model kanvas, proses bisnis pada industri energi terbarukan akan didapatkan lebih hemat biaya dan simpel. Tapi, untuk menjadikan energi terbarukan sebagai sebuah disrupsi energi tak cukup hanya dengan bisnis model kanvas.

Saat ini, kita tahu bahwa biaya yang dikeluarkan untuk industri bahan bakar fosil mencakup proses eksplorasi, eksploitasi, pemanfaatan, dan penimbunan atau daur ulang. Proses produksi penambangan dilakukan, selanjutnya dilakukan pengangkutan bahan baku, dan butuh tempat untuk pemurnian seperti kilang minyak atau tempat pencucian batubara, gudang, disamping itu juga membutuhkan sarana transportasi dan logistik untuk sampai ke konsumen. Tentu dalam model bisnis ini, industri berbahan dasar fosil terlihat sangat kompleks dan kurang efisien.

Maka, untuk menjadikan energi terbarukan dapat menjadi disrupsi perlu inovasi dalam bisnis dan kembali merekayasa ulang proses bisnis itu agar tidak kalah dengan bahan bakar fosil yang sudah terbukti murah dan andal.

Kita sudah beberapa kali menemui bahwa harga yang murah bukanlah patokan saklek dalam menentukan dan membeli barang atau jasa, bukan?

3.   Kualitas yang dihasilkan lebih baik

Seperti dalam penjelasan diatas, bahwa kita sudah beberapa kali menemui bahwa harga yang murah bukanlah patokan saklek dalam menentukan dan membeli barang/ jasa. Meski efisiensi dan kapasitas faktor dari teknologi energi terbarukan (non-hidro dan nuklir) lebih rendah daripada berbahan bakar fosil, namun kualitas listrik yang dihasilkan akan mendapatkan nilai tambah dari segi inovasi nilai. Energi yang bersih dan ramah lingkungan, akan membuat konsumen menjadi lebih tertarik.

Bukankah banyak industri pariwisata berkelas internasional yang menawarkan liburan eksotis, privat dan menawarkan petualangan di pulau-pulau terpencil? Untuk listrik, mereka menggunakan energi terbarukan. Di Indonesia pun sudah ada contohnya seperti Pulau Cinta di Gorontalo yang menggunakan panel surya [8]. Pulau ini digadang-gadang sebagai Maldives-nya Indonesia.
 
 Gambar 2. Pulau Cinta di Gorontalo: Maldives-nya Indonesia
(sumber gambar: http://www.pulocinta.com)


Industri pariwisata pun mulai menawarkan pelayanan yang selain menyenangkan, juga menyehatkan. Maka, pilihan penyediaan listrik berbahan energi terbarukan adalah salah satu terobosan untuk memberikan pelayan itu. Bayangkan jika, destinasi wisata sudah bagus, namun tenaga listrik bersumber dari diesel yang notabene berbahan bakar fosil. Tentu berisik, dan menyebabkan polusi bukan?.

Industri berbasis energi terbarukan (non-hidro dan nuklir) menjadi sangat potensial jika digunakan dalam kondisi seperti pulau-pulau kecil dan pedalaman. Pelaku industri berbasis ini harus bias melihatknya sebagai pasar potensial yang tidak akan disasar oleh PLTU konvensional. Jelas akan rugi, karena pembuatan grid dan instalasinya mahal. Energi terbarukan adalah solusinya.

4.   Menciptakan pasar baru

Industri berbasis energi terbarukan sebenarnya dapat memperluas dan menciptakan pasar baru. Selain itu, juga dapat meningkatkan jumlah lapangan kerja ketimbang industri konvensional berbahan bakar fosil. Ambil contoh mikrohidro atau PLTMH, misalnya. PLTMH sendiri lebih banyak kita jumpai didaerah pegunungan dan pedalaman daerah. Tentu dalam prakteknya, membutuhkan komponen-komponen pendukung seperti peralatan mesin dan elektronik. Ini bersebrangan dengan identitas pegunungan dan daerah pedalaman yang identik dengan pertanian. Jika ada PLTMH tentu dapat menciptakan pasar baru di daerah sekitarnya, misalnya toko mesin dan elektronik, rumah makan. Lapangan pekerjaan juga akan tercipta dengan sendirinya seiring dengan adanya listrik di daerah.

Apalagi pembangkit listrik yang lebih besar seperti PLTA, PLTB, PLTG, PLTN. Akan semakin memperluas pasar dan juga lapangan kerja. Salah satu lapangan kerja yang terbuka luas adalah dibidang riset dan pengembangan. Selain itu, pembangkit listrik energi terbarukan lebih banyak membutuhkan orang daripada PLTU Batubara atau BBM yang lebih mengandalkan mesin dan sifatnya tidak tersebar.
 
5.   Produknya mudah diakses dan dijangkau oleh penggunanya

Ini berkorelasi dengan penjelasan sebelumnya. PLTMH contohnya. Produk listrik mudah diakses. Juga panel surya. Listrik dari PLN yang membutuhkan pembangunan grid, akan sulit mencapai daerah-daerah pedalaman karena akan merugi jika membangunnya. Misalkan terjadi kerusakan pun, konsumen bisa cepat tahu. Dan penyelesaiannya pun bisa lebih cepat karena menyangkut jumlah listrik yang tak sebesar gardu listrik PLN yang bergantung pada pusat supply daya.

6.   Menjadikan sesuatu lebih smart, pintar, hemat waktu dan akurat

Ada berita baik dari The Economist, bahwa saat ini sudah ada teknologi baru yang memungkinkan industri dan rumah tangga untuk menggunakan energi terbarukan meski bekerja pada malam hari [9]. Kita tahu bahwa tenaga surya, angin dan arus laut sifatnya hanya sementara dan tak sepanjang hari menghasilkan tenaga yang cukup untuk dikonversi ke listrik. Ini karena sudah dikembangkan teknologi baru melalui digitalisasi, hitungan pintar dan baterai yang memungkinkan permintaan energi yang tidak terputus-putus saat menggunakan teknologi berbasis energi terbarukan.

Didaerah saya pun, Lumajang, sering terjadi pemadaman listrik dari PLN. Padahal, menurut laporan tahunan dari Gubernur Jawa Timur, listrik di Jatim berlebih. Jelas, karena kita punya Pembangkitan Jawa Bali (PJB) di Gresik dan Probolinggo yang kapasitasnya besar. Setiap minggu dilakukan pemadaman listrik, meski tempat tinggal saya di pusat kota. Hal ini terjadi karena seringnya terjadi kerusakan di gardu PLN Lumajang. Akibatnya, perlu perawatan berkala. Dan waktu pemadamannya pun tak tanggung-tanggung, dari pagi sampai maghrib. Meski sudah dikabarkan sebelumnya, tentu ini cukup mengganggu aktivitas kita.

Bisa jadi dimasa depan, ada sebuah terobosan bisnis di bidang energi listrik. Dengan inovasi nilai dan inovasi teknologi yang sedemikian rupa, sehingga bisa kompetitif dengan listrik PLN. Jika ada demikian, maka dapat menawarkan kepastian kepada konsumen dengan pelayanan yang jauh lebih baik. Semisal ada kerusakan, petugas akan sigap datang ke tempat konsumen, dan menyelesaikannya dalam waktu tercepat dan memuaskan. Mungkin model bisnis ini hanya bisa diwujudkan untuk daerah potensial tenaga surya dan angin.


Penutup

Jadi, sebenarnya energi terbarukan dapat memenuhi ke-enam ciri disruption, meski saat ini penerapan dan realisasi energi terbarukan di lapangan belum bisa menjadi sebuah “gangguan”, apalagi menggantikan peran batubara dan BBM.  Perlu terobosan-terobosan baru di bidang inovasi nilai dan inovasi teknologi dalam proses bisnisnya. Jika bersaing pada tataran pembangkitan listrik, maka energi terbarukan akan sulit menjadi fenomena disruption. Namun, jika bersaing dalam model bisnis baru dan turunannya, maka bisa dipastikan energi terbarukan yang akan menang. Ambil contoh: Tesla Motors.

 #15HariCeritaEnergi #EnergiTerbarukan #EnergiBaruTerbarukan #EBT #KementerianESDM #Disruption



Referensi:

[1]     International Energy Agency. 2014. World Energy Outlook 2014. France: IEA
[2]     Nyquist, S dan Manyika, J. 2016. Renewable energy: Evolution, not revolution. McKinsey&Company
[3]     Rhenald Kasali. 2017. Meluruskan Pemahaman Soal “Disruption”. Jakarta: Kompas.com
[4]     Rhenald Kasali. 2017. Disruption: Menghadapi Lawan-Lawan tak kelihatan dalam Peradaban Uber. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
[5]     Cox, L. 2016. The Rise of Renewable Energy. London: disruptionhub.com
[6]     Oktara, D. 2017. Sampah di Jakarta Siap Diolah Menjadi Listrik. Jakarta: Tempo.co
[7]     Chandra, AA. 2017. Finlandia Lirik Proyek Pembangkit Sampah di Jakarta. Jakarta: Detik.com
[8]     Berlibur di Pulau Cinta Gorontalo, Ibarat Pangeran dan Ratu Berbulan Madu. 2016. indonesiadailynews.co
[9]     Wind and Solar Power are Disrupting Electricity Systems. 2017. www.economist.com
+