Connecting the Dots

Showing posts with label Berdiri Diam Berarti Mundur. Show all posts
Showing posts with label Berdiri Diam Berarti Mundur. Show all posts

Tren Transformasi Digital Industri Manufaktur di Tahun 2021

“90% of CEOs believe the digital economy will impact their industry, but less than 15% are executing on a digital strategy.” — MIT Sloan and Capgemini

Memahami scope perubahan

Sebelum tahun 2020, transformasi digital adalah sebuah kekuatan tersendiri. Lebih dari separuh dari semua Produk Domestik Bruto (PDB) di seluruh dunia telah menjadi digital (IDC, 2018) karena bisnis menghasilkan pendapatan dari aplikasi perangkat lunak yang telah dikembangkan. 

Kemudian di awal 2020, dunia dilanda pandemi global dan transformasi digital mengalami perubahan.

Entitas bisnis tidak lagi melihat transformasi digital semata-mata sebagai sumber inovasi. Transformasi digital telah menjadi syarat bagi kelangsungan bisnis, memungkinkan tim untuk bekerja di mana saja dan organisasi untuk menyesuaikan diri dengan cepat dalam menghadapi setiap krisis yang datang. Transformasi digital menawarkan kestabilan dan kegesitan bagi perusahaan, baik untuk wilayah operasional, tenaga kerja, dan pelanggan.

Dengan transformasi digital, organisasi mengolah data menjadi nilai yang bermakna, menemukan cara baru dan pendekatan baru untuk melayani pelanggan, dan membangun solusi yang relevan untuk lingkungan sosial-ekonomi yang berubah dengan cepat. Dengan berhasilnya ekonomi digital yang dikembangkan, maka berhasil pula apa yang disebut dengan transformasi digital. Dan itulah sebenarnya yang dimaksud dengan transformasi digital.
 
4 Tren Pendorong Perubahan dalam Bisnis 

Munculnya komputasi awan atau yang kita kenal dengan cloud membawa ledakan ketersediaan data untuk organisasi. Untuk pertama kalinya, perusahaan teknologi memiliki kemampuan komputasi dan penyimpanan untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis data-data penting, memungkinkan perusahaan untuk merespons hal-hal yang berada di luar kendali mereka dengan cepat.

Dari dinamika perkembangan teknologi tersebut, dan beragam peristiwa global baru-baru ini, ada empat tren yang muncul dan ditangkat oleh Microsoft, yaitu:

Tren 1: Setiap perusahaan akan menjadi perusahaan teknologi
Di banyak organisasi, upaya transformasi digital telah berlangsung selama beberapa tahun. Pada tahun 2020, upaya-upaya tersebut dipercepat. Kebutuhan akan kelangsungan bisnis selama masa perubahan yang cepat, serta kebutuhan untuk bekerja dengan cara berbeda karena adanya keterbatasan, atau untuk mencapai penghematan biaya, telah membuat transformasi digital menjadi prioritas. Seperti yang disampaikan oleh CEO Microsoft, Satya Nadella, "Kami telah melihat transformasi digital setara waktu dua tahun dalam dua bulan."

75% pemimpin bisnis melaporkan bahwa mereka telah menciptakan produk dan layanan baru.
73% perusahan melaporkan bahwa mereka saat ini sedang membuat properti intelektual (IP) pihak pertama mereka sendiri dengan menggunakan teknologi generasi berikutnya seperti Machine Learning (39%), Internet of Things (37%), Artificial Intelligence (32%), Blockchain (29%), dan Augmented Reality (21%).

Disiplin dalam Kerja dan Keabadian


Sejak saya di college sampai dengan saat ini, saya belum pernah bertemu dengan orang yang begitu disiplin. Sudah coba saya ingat-ingat namun masih belum ketemu siapa yang paling berkesan tingkat disiplinnya. Pun ketika saya lepas college dan berada di lingkungan yang baru, disiplin memang barang langka di negeri ini. 

Dengan subjektifitas tersebut diatas, saya tidak mengklaim jika saya adalah orang yang disiplin. Teman-teman yang pernah kenal saya pun sepertinya juga tidak akan memasukkan nama saya dalam daftar orang yang disiplin. 

Dulu sekali, saat saya masih menjadi sesuatu di college, saya paling menghindari orang yang tidak disiplin. Kebanyakan pimpinan ormawa saat itu menurut saya adalah kumpulan orang-orang yang tidak disiplin. Pun kalau mereka tersinggung dan tak menerimanya, saya masih bisa mengkategorikan mereka sebagai conditionally-discipline-leader. Terlihat disiplin saat berada di kerumunan. Dengan stigma ini, mereka tak bisa mengelak. Tapi biarlah, itu masa lalu. Bukankah manusia selalu berubah?

Jim Collins, peneliti Amerika, dalam bukunya yang berjudul "Good to Great" mendeskripsikan bahwa orang-orang yang disiplin memiliki kemampuan untuk mendapatkan capaian yang hebat (great achievements). Thesis ini yang saya pakai dulu saat di college dan dimanapun organisasi tempat saya akan berada. Salah satu achievements yang bisa saya ingat dan bagikan adalah bagaimana kampus kami saat itu, ITS menjadi juara umum PIMNAS 26 Mataram pada tahun 2013 untuk pertama kalinya. Momen ini tak akan saya lupakan karena ini adalah momen yang sangat bersejarah bagi ITS dalam bidang keilmiahan di tingkat Nasional. PIMNAS sendiri adalah ajang keilmiahan paling populer di Indonesia. Levelnya sangat berbeda karena multi-dimensi dan multi-akademisi yang terlibat.

Saya sangat ingat bagaimana tempat saya berkontribusi saat itu di BEM ITS. Saya akui, Menteri Riset dan Teknologi BEM ITS saat itu orangnya sangat disiplin. Saya bisa jamin orang yang seperti dia sangat langka karena saya jarang memuji orang. Dimanapun tempat ia bekerja, beruntunglah organisasi itu. Capaian-capaian hebat akan dicapai lewat idea-idea dan execution  dia. Tentu dalam pencapaian PIMNAS 26 itu ada banyak tangan dan macam kontribusi, namun tidak salah juga jika saya mengklaim bahwa pengawal dan bagian yang membuat bara itu tetap menyala adalah dibawah leadership sang Menteri itu. Maka sudah tentu, setelah peristiwa 2013 itu pun sampai 2020 ini ITS tak pernah lagi mencapai capaian ini. Itu karena culture of discipline yang berbeda. Ada banyak kerja dalam diam (unpublished works) yang dilakukan setiap hari. Level orang ini sangat berbeda untuk ukuran mahasiswa. Ia mampu menjalin komunikasi yang baik dengan seluruh tingkatan mahasiswa, menjalin interaksi yang baik dengan seluruh tingkatan dosen dan tenaga kampus. Mungkin jauh dimasa depan akan ada lagi orang seperti dia.

Disiplin memang barang berat untuk dikonsistensikan. Kebanyakan kita hanya akan disiplin dalam waktu 1-2 bulan di lingkungan baru yang kita tempati. Setelah itu, kita akan mendahulukan hak daripada kewajiban. Dan banyak sekali orang yang mewajarkan. 

Tapi manusia memang makhluk pemikir, maka pemikiran yang mengutamakan hak daripada kewajiban juga tidak bisa kita salahkan. Hari-hari akan terus lewat dan dunia akan terus berputar.

Tiga Strategi Memenangi Persaingan di Era Disrupsi


Sebetulanya, saya kurang suka dengan istilah disrupsi (disruption) karena seakan-akan jika ingin berhasil dalam bisnis di era modern ini maka bisnis model yang dikembangkan haruslah yang bisa mendisrupsi pasar yang ada. 

Tentu ini tak terlepas dari peran seorang Profesor Ekonomi dan Bisnis dari Universitas Indonesia, Rhenald Kasali, yang sangat produktif membuat tulisan baik di media cetak, media elektronik, juga beragam serial buku disrupsi. Meski setelah Anda membacanya, Anda akan mendapati bahwa mayoritas pandangannya adalah terlalu saklek berkiblat pada pemikiran akademisi Amerika Clayton Christensen. Anda bisa membaca profil Profesor HBS (Harvard Business School) ini di web pribadinya https://claytonchristensen.com/.

Tentu saya juga tidak menyalahkan jika ada banyak yang setuju dengan paparan kedua akademisi tersebut dalam menerjemahkan perkembangan dan model bisnis saat ini. Apalagi mereka adalah para profesor yang sudah meneliti dan menangani beragam kasus ekonomi dan bisnis selama puluhan tahun, sementara saya sebagai penulis hanya berdasarkan subjektifitas dan analisa personal. 

Namun yang ingin saya tegaskan adalah apapun istilah yang muncul, dari zaman dulu sampai kapan pun di masa depan, bisnis tetaplah bisnis. Bisnis tetap berorientasi pada profit dan keberlanjutan. Apapun bentuknya dan bagaimanapun caranya.

Saya ingin berbagi pandangan dari W. Chan Kim, seorang Profesor Manajemen dan Strategi dari INSEAD. Beliau menyatakan, "When we assume that the only way we can create a new market is by disrupting an old one, opportunities for nondisruptive creation can be easily missed. People tend to focus their attention on the core of existing markets and what it would take to disrupt the existing order. This narrows their vision and blinds them to the wealth of nondisruptive market-creating moves they could make."

Ada banyak cara menciptakan pasar baru, dan disrupsi bukanlah satu-satunya cara.

Sejauh yang saya pahami saat ini, untuk menjadikan bisnis kita tetap bertumbuh setidaknya memerlukan beberapa strategi yang harus dieksekusi dengan baik dan benar. Strategi inilah yang melatarbelakangi saya untuk menuliskannya saat ini dengan judul Tiga Strategi Memenangi Persaingan di Era Disrupsi.

Adapaun ketiga strategi ini, yakni;

1. FOKUS
Pemimpin bisnis haruslah fokus karena sehebat apapun strategi yang dijalankan, secanggih apapun sumber daya yang dimiliki, jika tidak fokus maka tidak akan mencapai hal yang maksimal. Fokus membuat bisnis tetap berada di jalur yang benar. Dan menghindar dari melakukan hal-hal yang tidak diperlukan.

2. DIVERGENSI
Bisnis harus memiliki keunikan sendiri. Keunikan ini juga termasuk sikap tidak reaktif dalam menghadapi pasar dan mungkin juga persaingan yang ada. Seringkali, analisa pesaing memang tak terlepas dari strategi untuk menciptakan pasar baru. Namun, selama kita memiliki keunikan dan tidak reaktif terhadap kondisi pasar yang ada, historikal bisnis dimana pun telah membuktikan bahwa bisnis akan tetap bertumbuh. Tentu harus diimbangi dengan Fokus tadi.

3. SLOGAN YANG MENARIK
Bagi banyak orang, marketing dan termasuk slogan tidak terlalu menjadi perhatian. Namun, dalam era saat ini Anda wajib memiliki slogan. Tentu slogan yang menarik. Ini adalah cara bisnis Anda berinteraksi dengan konsumen Anda. Cara bisnis Anda berkomunikasi dengan calon konsumen Anda. dan cara bisnis Anda untuk membuat konsumen Anda tetap loyal menggunakan produk Anda. Product Engagement harus juga menjadi strategi dan harus pula dievaluasi secara berkala. 

 

 

Tidak Penting Apa Keahlianmu untuk Bekerja: Bagian 2


Pada Bagian 1 saya memberi contoh dan ajakan untuk belajar ke Tiongkok. Saya tidak kilau sama sekali dengan Tiongkok. Namun, mencontoh Tiongkok dalam hal-hal baik bukanlah hal buruk. Meskipun yang berhasil di mereka belum tentu berhasil di kita. Namun ada satu hal yang ingin saya bagikan kepada teman-teman pembaca sekalian bahwa kita harus insyaf jika kita ingin maju, dan disiplin adalah kuncinya. 

Pada Bagian 1 juga telah disampaikan pandangan saya bahwa perusahaan dengan resources yang baik dan terampil tidaklah cukup, karena bisa kalah dan bubar. Perlu adanya strong willingness dan vision believing.

Pada Bagian 2 ini, saya ingin berbagi cerita mengenai sebuah perusahaan manufaktur milik swasta yang memproduksi alat elektronik terkemuka di Indonesia. Persaingan dalam industri sejenis sangatlah ketat. Merek lama maupun merek baru nyaris tak ada bedanya dalam hal kualitas hasil produksi dan tidak jauh berbeda dalam hal harga. Kita tahu bahwa faktor produksi seperti labour cost dan faktor supply chain yang merupakan dua dari tiga elemen penting dalam operasional perusahaan, saat ini sangat mudah untuk didapat dan juga murah harganya.

Saat banyak perusahaan menanggapi perubahan zaman yang makin kompetitif ini dengan merekrut calon karyawan yang terbaik dari kampus-kampus atau sumber tenaga kerja lainnya, sebagian kecil perusahaan justru tidak ambil pusing dalam proses input sumber daya manusia ini. Perusahaan ini, umumnya melakukan rekrutmen dengan sangat sederhana. Syaratnya hanya memperhatikan umur, pernah bekerja di pabrik, dan disiplin. Setelah proses wawancara dan tandatangan kontrak, biasanya mereka akan diminta untuk langsung bekerja dilapangan. Tanpa proses ini dan proses itu. Tanpa basa-basi.

Tentu orang luar yang melihatnya akan berpikir dan menganggapnya sebagai tidak berperikemanusiaan. 

Namun faktanya, perusahaan yang menerapkan kesederhanaan dan disiplin ini justru terus bertumbuh.

Organisasi yang kecil memang mudah diajak untuk bergerak. Tentu berlaku juga dalam skala perusahaan yang dimaksud dalam contoh. Rekrutmen-rekrutmen sederhana ini hanya terjadi di level perusahaan menengah ke bawah. Yang terbatas anggaran, waktu, dan sumber daya lainnya. Oleh karenanya, perusahaan-perusahaan kecil ini sangat gesit sekali dalam operasionalnya.

Hingga tak terasa, perusahaan-perusahaan kecil ini mengambil alih kue pemasaran dari para perusahaan-perusahaan besar. Tanpa disadari. Atau mungkin disadari, hanya saja diremehkan di awal.

Perusahaan-perusahaan kecil ini biasanya berpijak pada para perusahaan besar. Entah dijadikan sebagai pijakan knowledge maupun pijakan dalam bentuk strategic partnership. 

If you can learn to stand on the shoulders of giants, you can get bigger, faster. (Isaac Newton, 1676)
Tentu strategi ini dengan mengesampingkan manajemen sumber daya manusia di perusahaan-perusahaan besar.

Perusahaan-perusahaan kecil ini melihat tenaga kerja tidak sebagai aset. Mereka memposisikan tenaga kerja sebagai orang yang memiliki akal dan kemauan untuk terus produktif dan menimbulkan benefit bagi perusahaan. Hal ini tentu berbeda dengan budaya di perusahaan besar dan state-own enterprises yang mana memposisikan tenaga kerjanya sebagai aset. Dampak dari sikap perusahaan kecil tersebut, jika terjadi kekosongan posisi maka ia akan cepat mendapatkan pengganti. Meski tidak ada proses suksesi (succession planning) dalam budaya perusahaannya. Ya karena itu tadi, mereka melihat tenaga kerja sebagai bukan aset yang harus dijaga oleh perusahaan. 

Memang terkesan sadis, bukan?

Tidak Penting Apa Keahlianmu untuk Bekerja: Bagian 1


Keahlian (skill) memang perlu dipertimbangkan saat memilih seseorang untuk kita terima atau tidak dalam mengisi kekosongan posisi di perusahaan kita.

Rekruter dalam proses wawancaranya seringkali mempertimbangkan macam-macam keahlian yang dimiliki oleh pelamar. Dengan membaca dan mengkonfirmasi dari CV atau resume yang ada di mejanya. Meski ada yang berhasil terimplementasi dengan baik saat diterima dan bekerja, namun kenyataan bahwa tak sedikit kasus yang terjadi ternyata karyawan tersebut menjadi kurang adaptif terhadap perubahan zaman. Itulah salah satu alasan mengapa meski kinerja karyawan kita bisa dikatakan baik, namun secara kolektif perusahaan ternyata sulit mencapai performa yang memuaskan. 

Semua bekerja sebagaimana mestinya, tidak melakukan kesalahan sedikitpun, namun tiba-tiba perusahaan kalah. Bangkrut. Dan akhirnya bubar. Ironis.


Mari kita belajar ke Tiongkok.
 
Beberapa tahun lalu, saya bertemu dengan seorang saudara yang bekerja di Tiongkok. Dia bercerita bahwa banyak rekruter di Tiongkok, tidak terlalu memperhatikan keahlian (hardskill) sebagai syarat wajib untuk diterima. Pemikiran disana sangat sederhana. Mengingat banyaknya jumlah manusia dan tenaga kerja, dan tentu saja ada kontribusi dari pemerintah, namun kesederhanaan dalam menerima tenaga kerja di Tiongkok patut untuk direnungkan, setidaknya bagi kita yang tertarik terhadap alasan mengapa industri di Tiongkok sangat kompetitif & produktif.

Contohnya adalah launching produk terbaru Apple: Iphone 12. Perusahaan yang memproduksi tersebut berada di Tiongkok, dibawah bendera Foxconn yang berpusat di Taiwan. Perusahaan ini sedang melakukan rekrutmen besar-besaran untuk memenuhi permintaan yang ada: dibutuhkan 250.000 orang. Dengan target penerimaan: 2000 orang per hari. Saya tentu tak bisa membayangkan bagaimana perusahaan yang memproduksi barang paling inovatif di dunia ini proses rekrutmen karyawannya bisa sangat sederhana. Dengan jumlah per hari yang banyak itu. 

Sangat berbeda dengan kebanyakan kasus di Indonesia.

Di Tiongkok, juga India, mereka berfokus kepada Visi dan Misi perusahaan. Ini melekat dan menjadi harga mati bagi para eksekutif korporasi. Sementara di Indonesia, Visi dan Misi kebanyakan hanya sebagai hitam diatas putih dan masih bisa ditawar. Tentu ini pendapat pribadi saya. Dan sangat subjektif. Anda bisa mendebatnya. Namun kenyataan bahwa perusahaan kecil di Tiongkok bisa mendapatkan dan mengerjakan proyek besar di luar Tiongkok juga tidak boleh kita abaikan.

Ada jokes terkenal begini:
Ada orang mendaftar menjadi tentara kemudian mengikuti beragam tes seleksi dan singkat ceritanya orang ini dinyatakan tidak lolos tes karena giginya ompong. Orang ini kemudian menanyakan ke bagian penerimaan (rekruter): "Sebenarnya orang masuk tentara itu untuk berperang atau untuk baku gigit?"  

Anda tentu pernah mendengar jokes tersebut. Menurut penulis, jokes ini juga sering terjadi dalam proses penerimaan angkatan kerja baru dalam kenyataannya. Mungkin itulah salah satu alasan mengapa perusahaan-perusahaan di Indonesia sulit sekali untuk bersaing di kelas regional, apalagi ditingkat internasional. Akhirnya, kebanyakan karyawan perusahaan yang ada hanya melakukan repetisi-repetisi tanpa dirasa ia masuk usia pensiun. Tidak memberikan dampak signifikan dan revolusioner bagi transformasi korporasi.

Inilah kekurangan kita yang masih menganggap bahwa good looking dan good resume adalah kunci penerimaan. Pihak yang disewa perusahaan untuk melakukan rekrutmen juga seringkali adalah orang-orang office yang pengalaman mayoritasnya adalah bekerja dalam ruangan ber-AC. Tentu mereka bisa membayangkan, namun bayangan itu seringkali subjektif dan tidak tepat. 

Saya pribadi menyarankan kepada seluruh manajer terutama bagian sumber daya manusia (Human Capital) untuk perlunya melakukan analisa dari proses rekrutmen sampai evaluasi tahunan. Apabila hal-hal yang menjadi komitmen selama proses rekrutmen tidak terimplementasi setelah beberapa tahun bekerja, maka jenis karyawan seperti ini perlu dipertimbangkan untuk dievaluasi. Jadi, evaluasi disini bukan hanya selama ia bekerja namun melihat lebih luas apa yang menjadi komitmen awal dari karyawan tersebut. Apakah ia akan dipertahankan, atau diberhentikan. Namun sikap seperti ini tidak akan terjadi di jenis perusahaan yang merasa cukup. Konsep ini hanya bisa terjadi jika perusahaan menjadikan Visi dan Misi Perusahaan sebagai harga mati yang harus dicapai. 

Kebanyakan tenaga kerja kita dalam kondisi untuk mempertahankan posisinya. Terkadang kesepakatan-kesepakatan gelap dilakukan hanya untuk terlihat perform dan bagus di atas kertas. Saya katakan jika kondisi karyawan seperti itu maka perusahaan Anda sebenarnya sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja. Tenaga kerja yang cari aman dan ingin mempertahankan posisinya, akan sulit memberikan idea-idea dan kontribusi signifikan bagi keberlanjutan perusahaan. Bukankah semua hal yang kita lihat dan rasakan adalah hasil dari idea-idea?

Inovasi dalam Industri Pertambangan

(sumber gambar: abb.com)

Industri Pertambangan menurut penulis tergolong jenis industri yang sudah tua dan sudah baku. Dikatakan sudah tua karena seperti yang sudah kita ketahui, peradaban manusia dinamai dengan jenis material yang dikembangkan. Logam tembaga sendiri sudah dikonsumsi sebagai peralatan sehari-hari di zaman 4500 SM zaman mesir kuno. Dan terus berkembang sangat cepat dengan penemuan pelbagai macam unsur yang akhirnya melengkapi tabel periodik unsur. Nyaris seluruh peralatan dan mesin disekitar kita saat ini adalah produk dari industri pertambangan.

Besi-Baja, Tembaga, Seng, Aluminium, Emas, Perak dan logam lainnya dikembangkan dengan proses yang disebut metalurgi. Ada banyak istilah dan proses didalamnya, namun tujuannya sama yakni mendapatkan logam atau unsur tertentu sesuai dengan yang diinginkan. Dan kesemua ini adalah bagian dari jenis industri pertambangan.

Menurut penulis, industri pertambangan merupakan salah satu jenis industri yang selalu berpusat pada inovasi dan terobosan. Karena secara hukum energi dalam industri pertambangan sendiri memakan sekitar 50-68 persen biaya produksi. 

Inovasi dalam industri pertambangan mayoritasnya adalah bagaimana menekan biaya operasional dan biaya produksi. Tentu saja ini sangat beralasan mengingat prosesnya yang cukup panjang dimana bahan utamanya yang berupa batuan atau tanah.

Inovasi ERP atau pun digitalisasi dalam industri pertambangan, rasanya hanyalah sebagai pelengkap untuk menurunkan biaya. Namun seringkali upaya digitalisasi dalam industri pertambangan malah menghasilkan problem sendiri karena membutuhkan anggaran yang ternyata tidak sedikit.
Itulah kenapa di Indonesia dan banyak negara berkembang lainnya, digitalisasi dalam industri pertambangan tidak dijadikan sebagai suatu perhatian khusus. Hampir semua pelaku industri pertambangan, melakukan inovasi terhadap alat produksi utama mereka dengan berfokus kepada peningkatan yield dan penurun biaya operasional dan biaya produksi.

Berdasar hipotesa tersebut diatas, penulis merasa perlu adanya suatu terobosan pemikiran dari para line manager dan pelaku utama untuk duduk bersama membicarakan dan mendesain ulang proses bisnis yang ada. Memang dengan proses bisnis yang sudah berjalan, seringkali perusahaan sudah merasa cukup dan profit. Namun di era saat ini, perasaan seperti hanyalah kesemuan yang tidak bertahan lama. Ada banyak kasus diluar sana yang sudah awam diketahui bersama, pelaku industri pertambangan yang tak mungkin rugi akhirnya gulung tikar jua.

Inovasi, menurut penulis, bukan hanya bagaimana menciptakan produk terbaik (red: memenuhi spek; standard; ketentuan yang ada; dan lain sejenisnya), bukan hanya bagaimana menurunkan biaya produksi (red: engineering alat produksi; process engineering; material and energy balance; dan lain sejenisnya), juga bukan hanya bagaimana menguasai pasar yang ada atau memperbesar kapasitas produksi. 

Inovasi, menurut penulis, harus dipandang sebagai jalan hidup seluruh stakeholder yang ada bahwa hanya dengan berinovasi maka kebahagiaan dan impian yang diharapkan dapat tercapai.

Jika dipahami inovasi hanya sekadar menurunkan biaya atau membuat produk terbaik, maka fokus pelaku industri pertambangan hanya sebatas buku laporan tahunan perusahaan yang profit.
Salah satu pelaku inovasi dalam industri pertambangan misalnya FLSmith, CAT, SAP, dll, perlu untuk dipelajari cara berpikirnya karena erat kaitannya dengan produk-produk inovatif yang mendorong efisiensi dalam industri pertambangan.

Namun, bukan berarti apa yang mereka kembangkan perlu kita beli dan implementasikan di area kita. Bukan. Kita harus meng-copy bagaimana inovasi dijadikan sebagai pedoman dan nafas utama perusahaan-perusahaan tersebut untuk tetap berjalan dan berkelanjutan meski tidak mengoperasikan pertambangan. 

Salah satu inovasi yang kami sarankan agar dapat diimplementasikan dengan mudah adalah kewajiban setiap personal untuk mengekspresikan ide dan mengaktualisasinya. Karyawan yang tidak perform dan tidak memiliki inovasi setiap tahunnya, yang berdampak pada prinsip kaizen/continuous improvement perusahaan, sebaiknya dilakukan evaluasi dan jika tidak bisa memenuhi jalan inovasi maka menurut penulis sebaiknya untuk diganti dengan yang bersedia untuk menerima inovasi sebagai jalan hidup.

Kemampuan kasar atau hardskill memang sangat penting dan bermanfaat bagi proses produksi, namun di era ini kemampuan seperti ini sangat bisa dipelajari lewat jam-jam terbang dan pengalaman seseorang. Namun budaya inovasi sangat berbeda. Dengan budaya inovasi seseorang akan bersemangat untuk meningkatkan kemampuan kasarnya. Ini dua hal yang berbeda. Anda tidak bisa menerima seseorang hanya berdasar kemampuan kasarnya, karena semua itu bisa diautomisasi oleh mesin. Sementara mesin itu akan terus berkembang karena budaya inovasi di negara-negara maju.

Maka, dalam hal inovasi dan penerapannya ke personal karyawan, tidak boleh melibatkan perasaan. Pihak yang berkuasa untuk mengeksekusi visi & misi perusahaan haruslah memakai perspektif tegas dan keras. Meski memang manusia bisa berubah, namun jika ia menolak inovasi sebagai jalan hidupnya maka sebaiknya jenis karyawan yang menolak ini tidak bergabung dengan Anda. Ini tidak cocok dengan semangat kemajuan dan tidak akan pernah bertemu. Ibaratnya saat kita berolahraga kano, jika ada satu saja yang tidak mendayung sebaiknya lempar saja karena hanya akan membebani dan memperlambat sampai ke tujuan. Inovasi adalah semangat, inovasi adalah hasrat, dan inovasi adalah penggerak. 

Semangat dan budaya inovasi yang terimplementasi dengan baik sudah pasti akan memperhatikan dan menempatkan kemanusiaan diatas segalanya. Justice, fairness, dan appreciation adalah dampak dari budaya inovasi. Jika perusahaan memiliki budaya inovasi yang baik, maka ia akan adil dan menghargai setiap personal yang ada. Karena begitulah inovasi bekerja.


Kepemimpinan dan Transformasi Bisnis Pasca Pandemi Covid-19

Pendahuluan

Pandemi Covid-19 menyebabkan banyak bisnis menjadi terganggu. Bahkan berhenti. Konsep bekerja dari rumah (Work From Home a.k.a WFH) menjadi populer akhir-akhir ini. Dan menjadi pilihan yang harus diambil oleh banyak pemimpin bisnis.

Kondisi saat ini tentu sangat buruk bagi hampir semua jenis bisnis. Namun pemimpin bisnis yang tangguh tak kan menganggap kondisi saat ini sebagai sebuah kutukan bisnis yang harus dikecewakan apalagi diratapi. Dalam kondisi seperti saat inilah para pemimpin bisnis bisa lebih berfokus memanfaatkan kemampuan otaknya. Mencari jalan terbaik bagaimana bisnis bisa survive (untuk saat ini) dan melejit ketika kondisi mulai normal kembali.

Jalannya perusahaan sebagaimana Business as Usual menjadi tak relevan. Kreativitas para pemangku kebijakan dalam perusahaan nyaris diuji. Jika proses bisnis masih menggunakan cara lama, meski konsep WFH diterapkan dan era internet mendukung, kondisi bisnis bisa diperkirakan akan mengalami kemunduran yang nyata. 

Dalam setiap krisis selalu lahir pemimpin yang hebat. Maka dalam situasi sulit saat ini setiap leader dalam perusahaan harus memaknainya sebagai sebuah proses seleksi alam untuk bisa memunculkan idea-idea yang bisa membuat perusahaan tetap mengalami kemajuan (growth) atau setidaknya bisa bertahan (survive).


Nilai-nilai seperti inisiatif; kreatif; dan inovatif harus menjadi pusat perhatian para top eksekutif. Tentu tanpa menyebabkan kondisi para karyawan menjadi down baik fisik maupun psikisnya. Karena dapat berdampak ke imunitas tubuh masing-masing personal karyawan. Semuanya harus dalam kondisi yang menyenangkan. Termasuk para pengambil keputusan.

Apa yang Bisa Dilakukan?
Pivot menjadi salah satu cara yang akhirnya ditempuh oleh beberapa Perusahaan. Entah karena terpaksa, atau karena dipaksa. Misalnya: pabrikan sepatu asal Amerika yang terkenal dengan merek New Balance yang membuat masker; atau pabrikan tekstil di Jawa Tengah yang membuat Alat Pelindung Diri (APD), atau beberapa hotel swasta yang menyulap kamarnya sebagai tempat karantina mandiri, dan masih banyak lagi.

Pandemi Covid-19 ini bukan hanya menyerang satu-dua jenis bisnis. Namun menyerang hampir semua bisnis. Absennya pemimpin perusahaan di lapangan dikarenakan aturan untuk social distancing memang bisa menjadi penyebab irama perusahaan menjadi turun. Apalagi jika selama bisnis berjalan, nuansa kerja perusahaan kental dengan konsep konservatisme atau cara kerja lama.

Sejauh yang penulis pahami, selama nilai-nilai perusahaan dipegang teguh oleh masing-masing stake holder (terutama internal) perusahaan, maka laju kapal masih bisa dipertahankan meski berat.

Dari pandemi Covid-19 yang meluas ini kita belajar bahwa apa yang sudah kita bangun ternyata bisa rentan sekali terkena serangan dari luar yang bahkan tak pernah menjadi perhatian sebelumnya. Oleh karenanya, topik post-pandemic menjadi satu bahasan tersendiri yang menarik untuk didiskusikan. Dan dijadikan evaluasi-resolusi kongkrit yang bisa diterapkan saat atau setelah Pandemi Covid-19 berakhir.




Konsep Leadership dalam Situasi Krisis: Studi Kasus Pandemi Covid-19 di Indonesia

Pendahuluan



Covid-19 menjadi satu problem terkompleks yang dihadapi semua negara. Untuk saat ini. Setidaknya untuk para kepala negara dan kepala pemerintahan.

Hampir semua negara mengalihkan fokus utamanya kepada pandemi yang sedang terjadi. Tatanan peradaban yang sedang dibangun; pendidikan, kebudayaan, sosial-ekonomi, dan lain sejenisnya; menjadi terganggu oleh 'serangan' dari materi kecil nan meluas dari novel coronavirus yang pertama kali terjadi di pusat ekonomi baru dunia: Tiongkok.

Dua hari lalu tepatnya 8 April 2020 President Xi Jinping resmi mencabut status lockdown dari Kota Wuhan di Provinsi Hubei. Ini adalah kota terakhir yang dibuka dan paling lama menjalani lockdown: sekitar 76 hari.

Saat ini, Pemerintahan Tiongkok sedang fokus untuk mengembalikan tatanan ekonomi yang selama tiga bulan sangat terdampak. Aktifitas ekonomi pun mulai dibuka seperti mall dan perkantoran. Bahkan jalan toll digratiskan agar ekonomi segera berjalan di negara tirai bambu tersebut. Dan aktifitas impor akan diperketat mengingat adanya potensi gelombang kedua dari Covid-19.

Disisi lainnya, saat Tiongkok sudah mulai pulih, banyak negara di Eropa dan Amerika Serikat sendiri sedang dalam masa sulit. Jumlah konfirmasi kasus positif Covid-19 di negara-negara barat ini masih terus meningkat. Dan ekonomi nyaris berhenti.

Di Indonesia sendiri, Pemerintah terlihat ragu antara fokus menangani wabah yang terjadi ataukah juga menyelamatkan ekonomi negara. Penulis katakan ragu dikarenakan banyak bukti dan pernyataan dari Pemerintah sendiri yang menjadikan ekonomi sebagai fokus. Setidaknya, itulah yang kita temui dari informasi yang kita dapati sehari-hari dan tervalidasi dengan kondisi di daerah dimana masih banyak masyarakat Indonesia yang tetap bekerja di lapangan.


Kehadiran Pemimpin dalam Situasi Krisis
Apa yang terjadi saat ini memang belum bisa dikatakan masuk masa krisis. Bukan krisis ekonomi, bukan krisis budaya, pun bukan krisis sosial. Namun dari wabah ini, jika tidak segera tertangani dengan baik akan menyebabkan ketiga macam krisis diatas.

Himbauan dan anjuran yang dikeluarkan oleh Pemerintah dan Ulama terasa tidak efektif. Setidaknya dalam pandangan penulis.

Masih banyak masyarakat yang lebih memilih sudut pandang rasionalnya sendiri daripada pendapat rasional dari para ahli seperti Pemerintah, Dokter, Profesor, dan Ulama dari masing-masing agama.

Maka konsep kepemimpinan terpusat menjadi tak relevan. Kurang didengar kalau tak boleh dibilang tidak didengarkan.

Konsep kepemimpinan harus di re-shape.

Harus dibiarkan natural muncul di tengah-tengah masyarakat.

Penulis pribadi meyakini bahwa setiap masyarakat yang melek informasi, dalam artian ia melek gawe; melek internet; nonton berita di televisi; atau setidaknya membaca koran dan dapat informasi dari tetangga, memiliki pengetahuan yang cukup jika Covid-19 itu adalah sebuah penyakit menular dan harus dihindari.

Namun pengetahuan ini menjadi tak relevan dan tak bisa divalidasi oleh aktivitas otak masyarakat kita karena mereka memiliki sudut pandang dan pola perilaku yang mengharuskannya melakukan ini dan itu.

Yang biasa jualan di pasar, ya harus ke pasar. Yang jadi juru parkir ya harus kembali ke jalanan. Yang tiap pagi ke sawah-ladang juga masih tetap ke sawah ladang. Bahkan para buruh yang tiap hari kerja keras di pabrik ya harus tetap masuk pabrik karena aktifitas ekonomi harus jalan. Setidaknya untuk diri mereka sendiri (dan keluarganya).

Pun juga bapak-bapak yang biasa shalat Jumat ya masih meramaikan shalat Jumat di masjid meski ada himbauan dari masing-masing kepala daerah.

Sudut pandang ini sebaiknya menjadi kaidah sendiri bagi siapapun yang mau rasional dalam melihat problematika sosial masyarakat kita di Indonesia. Mungkin itulah salah satu alasan mengapa Pemerintah tak bisa tegas dalam melakukan upaya pencegahan penyebaran Covid-19 di Indonesia.

Dalam situasi seperti ini, dimana anjuran dan himbauan tak lagi mempan sekalipun dari ulama sekaliber apapun, maka kepemimpinan itu harus muncul dalam skala yang lebih kecil. Kepemimpinan sebaiknya dibiarkan muncul di tengah-tengah masyarakat itu sendiri. Melalui budaya gotong royong atau budaya ketimuran kita sendiri. Karena pada prinsipnya, orang mau mendengarkan orang yang dapat memahami cara berpikirnya. Dalam artian sederhana: mengenal.

Masyarakat desa lebih bisa memahami ini lebih muda daripada masyarakat perkotaan. Sekalipun masyarakat desa tak tahu apapun terkait teknisnya. Mereka secara natural dapat menerapkannya.

Akhir-akhir ini, Covid-19 lebih menjadi menakutkan karena berita yang beredar dan belum bisa divalidasi kebenarannya. Dampaknya adalah orang banyak yang enggan ke Rumah Sakit; inisiatif melapor; dan lain sejenisnya. Bahkan kelangkaan terjadi pada sebagian jenis produk di pasar.

Problem seperti ini harus segera diatasi. Setidaknya disadarkan. Dan itu perlu leadership.

Ini saatnya untuk bersinar bagi para pemimpin di daerah.



Konsep Tiga "i" dalam Transformasi Korporasi dan Organisasi



Setiap perusahaan selalu menginginkan perubahan. Tentu ke arah yang lebih baik. Perusahaan-perusahaan besar seperti FLSmidht; Toyota Motor; Amazon.com, Inc., Alphabet Inc., dan lain-lain menjadikan perubahan sebagai suatu keharusan yang ada di dalam perusahaan mereka.

Dalam banyak jenis perusahaan, selalu diperbincangkan didalamnya bagaimana cara menjadikan perusahaan lebih baik kedepannya dalam berbagai aspek. Baik dalam aspek SDM yang dapat diandalkan (talent); sistem & teknologi perusahaan; strategi tahunan perusahaan; program dan target capaian bulanan; dan lain sejenisnya. Dan perubahan (change) adalah kuncinya. Yang diharapkan dapat mentransformasi perusahaan menjadi lebih baik; lebih kuat; dan lebih berkelanjutan.

Pada dasarnya semua perusahaan ingin bertransformasi. Namun dalam prosesnya, seringkali terjadi hambatan-hambatan yang menjadikan perusahaan lebih menyukai status quo. Banyak hal yang menyebabkan status quo dalam perusahaan, misalnya ketidakadilan proses selama menjalankan proses; hambatan politis; hambatan motivasional; atau bahkan karena persaingan yang dimenangkan dan keunggulan lainnya.

Perusahaan yang bisa mengenali dan mengatasi status quo akan bertransformasi menjadi perusahaan yang hebat (Great Company).  Dan dalam analisa umum penulis, perusahaan yang sukses melakukan transformasi perusahaan setidaknya memiliki budaya kerja yang diiringi oleh nilai-nilai tertentu yang belum bisa dicapai oleh banyak perusahaan.

Dalam rangka menjelaskan analisa umum diatas, penulis mengajukan konsep Tiga "i" yang perlu dan wajib dimiliki oleh perusahaan agar ia bisa terus menjadikan perusahaannya sebagai laboratorium transformasi.

Konsep Tiga "i"


Adapun Tiga "i" tersebut adalah:

"i" yang pertama adalah iNOVASI (innovation)

Dalam era yang serba cepat dan persaingan semakin keras, inovasi mutlak dibutuhkan agar tak tergerus dan kalah oleh zaman. Banyak orang atau pegawai yang memiliki kesulitan dalam berinovasi. Hal ini bisa karena ia merasa bahwa inovasi adalah sesuatu yang mutakhir; genuine; dan berdampak besar. Padahal, makna inovasi bisa disederhanakan sebagai suatu penyelesaian sebuah masalah.

Greg Satell, seorang pakar inovasi sekaligus penulis buku Cascades: How to Create a Movement that Drives Transformational Change menyampaikan pendapatnya bahwa,
“No matter what form innovation takes—short, agile sprints or long-term, grand-challenge investments—innovation is fundamentally about solving problems.”


"i" yang kedua adalah iMPLEMENTASI (implementation)

Innovasi dan ide-ide itu perlu diimplementasikan kedalam strategi perusahaan agar bisa memenangi persaingan atau bahkan menjadikan persaingan tak lagi relevan. Harvard Business Review pernah menuliskan bahwa untuk implementasi inovasi perlu memperhatikan lima hal berikut:

  1. Melihat peluang sebagai inovasi
  2. Memprioritaskan inovasi yang ada
  3. Menguji inovasi Anda
  4. Membangun dukungan untuk inovasi Anda
  5. Mempelajari dan mereview kembali usaha implementasi inovasi
Dalam hal ini, nilai-nilai yang perlu diutamakan adalah kerjasama. Karena Anda perlu melakukan uji publik dahulu ke rekan-rekan terdekat Anda, baik melalui rapat divisi atau antar divisi; rapat department; atau bahkan anda mengujinya dengan melakukan sampling ke publik.


"i" yang ketiga adalah iMPROVISASI (improvement)

Inovasi yang dibuat kadangkala dalam proses realisasinya atau implementasinya tidak mendapatkan respon yang baik dari pasar atau stake holder. Maka, improvisasi perlu dilakukan agar inovasi itu tak mati. Setiap inovasi adalah berharga. Maka inovasi yang tak bisa diimplementasikan atau gagal diimplementasikan bukan berarti inovasi itu buruk. Namun perlu diimprovisasi agar bisa menemui dan mencapai tujuan yang diinginkan.

Berdiri Diam Berarti Mundur: Menjaga Kepercayaan

Tak perlu dijelaskan lagi betapa kepercayaan adalah sebuah hal yang wajib dimiliki oleh setiap orang. Penilaian seseorang terhadap seseorang yang lainnya adalah lebih banyak berkutat menyoal kepercayaan daripada hal lainnya. Hal demikian dikarenakan kepercayaan memiliki dampak yang sangat luas terhadap berbagai aspek komunikasi dan sosial dalam kehidupan manusia.

Dalam tingkatan apapun, kepercayaan selalu diperbincangkan.

Penilaian seseorang dalam proses pengambilan keputusan bahkan menjadikan kepercayaan sebagai cara terbaik dan tercepat. Objektifitas tak lagi menempati wilayah mutlak yang diperlukan sebelum keputusan akhir ditentukan. Kepercayaanlah yang menentukan.

Kepercayaan sulit dibangun. Namun kepercayaan sifatnya tidak mutlak. Ia mudah hancur. Pun jika kepercayaan itu sudah dibangun lama, namun jika ada satu hal saja yang menghancurkannya, maka hancurlah kepercayaan itu. Ia roboh bagaikan tumpukan kubus kecil yang ditumpuk meninggi.

Pertanyaannya, bisakah membangun pondasi yang kuat untuk kepercayaan? Semisal ia hancur karena suatu sebab, maka ia tak hancur seluruhnya?

Pertanyaan ini jawabannya tidak solid. Dan sangat relatif. Untuk menjawabnya, kita harus mengenali beberapa hal sebagai berikut:

  • Setinggi apa kepercayaan yang sudah kita bangun selama ini?
  • Sejauh mana orang menaruh kepercayaan kepada kita sebelum kepercayaan itu hancur?
  • Seluas apa cara berpikir orang yang langsung berhubungan dengan kita?
  • Sedalam apa cara kita dalam membuktikan bahwa kita masih punya kesempatan?
  • Dan sekuat apa tekad anda dalam melihat masa depan?
Beberapa hal tersebut bisa menjadi opsi untuk membuktikan bahwa kepercayaan yang kita bangun bukanlah kerapuhan semata. Setiap pertanyaan tersebut memang membutuhkan proses berupa pengalaman berpikir dan pengalaman bersikap. Namun, bukan berarti kita harus menunggu kepercayaan yang kita bangun hancur terlebih dahulu baru mencoba mempraktekkan cara tersebut.



Kepercayaan bukanlah suatu sikap yang objektif. Ia cenderung subjektif. Maka dari itu, subjek sangat penting untuk Anda kenali lebih dalam. Siapa saja yang berhubungan dengan Anda dan kepercayaan apa yang hendak kita bangun.

Meski cenderung subjektif, kepercayaan tak bisa dibangun dalam wilayah dua muka. Anda tak bisa membangun kepercayaan terhadap satu orang, dan membangun kepercayaan lain terhadap orang yang lainnya dengan bentuk yang berbeda. Setidaknya, kepercayaan itu rapuh meskipun Anda berhasil membangunnya. Misalnya, Anda membangun kepercayaan ke atasan Anda. Anda sangat baik dan menunjukkan kinerja yang patuh saat diperintah atasan. Namun dalam ruang privat dan diluar jam kerja, Anda sibuk membicarakan ketidaksukaan Anda dengan rekan kerja Anda. Kepercayaan yang dibangun seperti ini sifatnya rapuh. Jika suatu waktu atasan Anda kecewa, maka sulit untuk mendapatkan kepercayaan itu kembali sekali pun beberapa poin di atas coba Anda lakukan. 

Kepercayaan memang wilayah yang unik. Ia bisa membuat suatu organisasi atau negara cepat mengalami kemajuan. Namun juga sebaliknya, ia dapat menghancurkan.


Dan yang paling penting, kepercayaan bukanlah hal yang untuk dipelajari. Ia harus dibuktikan. 

Berdiri Diam Berarti Mundur : Visi, Misi, dan Budaya Organisasi

Organisasi yang hebat selalu memiliki visi yang kuat, misi yang terukur, dan budaya organisasi yang menyenangkan.

Ketiganya berlaku dalam semua jenis organisasi. Baik di public sector (BUMN, Pemerintahan, dlsj) maupun di private sector (Perusahaan Swasta, dlsj).

Visi yang kuat harus dipahami lebih dari sekadar kewajiban yang sifatnya personal. Dalam posisi ini, leader dalam organisasi harus bisa menghidupkan Visi tersebut ke setiap personal dan para pemangku kepentingan. Visi tersebut harus bisa menjadi bara api semangat untuk terus melakukan continuous improvement. Visi tersebut harus menjadi pedoman bagi para stake-holder untuk menggapai cita. Dan Visi tersebut juga harus bisa menyatu dan melebur dalam setiap aktivitas organisasi.

Organisasi yang hebat banyak kita temukan dalam level organisasi perusahaan. Baik statusnya sebagai perusahaan swasta, perusahaan BUMN, maupun perusahaan Multi National Company.

Selain visi yang kuat, organisasi yang hebat (read: Great Company) harus menurunkan visi tersebut kedalam misi yang sifatnya terukur. Misi yang terukur memudahkan perusahaan untuk menentukan langkah strategisnya dalam menghadapi zaman dan menciptakan perubahan. Misi yang terukur juga lebih mudah dipahami oleh karyawan dalam sebuah perusahaan.



Budaya Organisasi merupakan hal yang sangat penting dan sifatnya mutlak jika sebuah perusahaan ingin berubah dari Common Company ke Good Company dan bertransformasi ke level Great Company.

Budaya Organisasi harus menyenangkan. Baik secara harfiah maupun secara konstektual.

Misalnya, bagaimana sebuah perusahaan manufaktur baja dan logam yang beroperasi dalam temperatur lebih dari 1000°C menjadi hal yang menyenangkan bagi para karyawannya. Atau perusahaan produksi bahan bangunan seperti semen yang prosesnya cukup kompleks. Atau perusahaan apa saja yang membutuhkan fokus K3 yang tinggi.

Ketika sebuah perusahaan tersebut bisa menciptakan rasa aman dengan memenuhi segala persyaratan baku dalam K3 Industri, tentu hal demikian akan membuat para pekerja merasa aman dan lebih maksimal dalam bekerja tanpa harus memikirkan hal-hal yang bukan wilayahnya.

Perusahaan yang ingin bertransformasi dari sekadar perusahaan pada umumnya ke level Great Company harus terus bergerak dan maju ke depan karena berdiri diam berarti mundur. (Bersambung)

Berdiri Diam Berarti Mundur : An Introduction

Sudah masuk akhir tahun 2019 saja. Tahun depan teknologi 5G mulai dikomersilkan.

Perusahaan telekomunikasi asal Tiongkok yakni Huawei Technologies Co., Ltd. bahkan sudah merencanakannya sejak beberapa tahun lalu. Meski sempat mengalami tekanan dan hantaman yang begitu keras dari Amerika. Yang merasa lebih berhak untuk menjadi pemain tunggal teknologi 5G. Yang merasa paling berhak untuk memonopoli apapun yang ada di dunia ini.

Hingga sang Chairman pun harus turun gunung. Kembali ke media. Berbicara di depan publik. Padahal selama belasan tahun ia menjaga diri untuk tak bicara di depan publik.

Rasanya memang benar jika kemajuan teknologi tak bakal ada yang bisa membendung. Terbukti Huawei jalan terus dan makin memantapkan segala infrastruktur untuk memuluskan visi besar mereka.

Perusahaan-perusahaan yang basisnya non-digital saat ini mulai melakukan konsolidasi ulang perusahaan. Mereview kembali kondisi organisasinya termasuk implementasi dan langkah strategis perusahaan dalam merealisasikan visi & misi perusahaan.

Disisi lain perkembangan Internet of Things (IoT) makin menemukan pasarnya. Banyak perusahaan mulai melirik teknologi ini dan bahkan sudah dalam tahap realisasi dan harmonisasi dengan lini bisnis yang dijalankan.

Masyarakat dunia pun mulai penasaran. Lebih tepatnya makin tertarik.

Disaat yang sama, banyak perusahaan yang masih ragu-ragu untuk ambil peran dalam gelombang revolusi industri 4.0 saat ini.

Tentu saja ada banyak faktor dan reason dibalik sikap bertahan itu. Tentu pula sikap tersebut diambil dari proses panjang di internal perusahaan yang notabene memiliki sumber daya manusia yang dapat diandalkan.


Namun teknologi dan laju peradaban tak pernah memilih dan memilah. Ia akan menyerang siapa saja. Perusahaan besar, perusahaan kecil, perusahaan raksasa, pun juga perusahaan rintisan (startup). Semua akan terkena dampaknya. (bersambung)
+