BEDAH BUKU - GENEALOGI INTELEGENSIA MUSLIM INDONESIA ABAD XX


Intelegensia Muslim dan Kuasa:
Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20

(sumber gambar: google.com)


Tulisan ini merupakan sebuah resume dari acara Bedah Buku dengan judul Intelegnsia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Indonesia Abad ke-20 yang ditulis sebagai bentuk disertasi dari Yudi Latif. Materi bedah buku ini disampaikan oleh Mas Djoko Susanto, seorang dosen FISIP Unair Surabaya yang juga merangkap Ketua Kuliah Tjokroaminoto untuk Kebangsaan dan Demokrasi

Di awal, Mas Joko memulainya dengan cerita singkat pertemuannya dengan Yudi Latif dahulu. Menurut Mas Joko sendiri, buku ini dibuat dengan asumsi para pembacanya sudah memahami apa itu genealogi. Sebelum Yudi Latif ini, kita juga menekuni beberapa orang yang fokus di pemikiran politik Islam. Kira-kira, dunia itu digerakkan oleh dunia idea tau dunia materi? Pertanyaan ini dilontarkan Mas Joko sebelum kita para peserta memahami apa itu genealogi. Analoginya begini, dunia ide seperti orang itu merancang gagasan tentang Indonesia baru Indonesia itu ada. Namun jika dunia materi itu, Indonesia sudah ada dulu baru ada gagasan tentang Indonesia. Ini adalah pertanyaan filsafat. Selalu pecah jadi dua. Idealis dan materialis. Dunia idea dan dunia materi. Kalau ilmu pasti, lebih mudah dalam menangkap hal ini karena perubahan materi adalah perubahan bentuk.

Mereka yang berbicara tentang pemikiran politik, mencermati tentang dinamika ide-idenya. Dulu memperjuangkan apa, sekarang memperjuangkan apa. Jadi, yang di cek adalah gagasan-gagasannya. Kontinuitas gagasannya dari tahun ke tahun. Jadi yang dilihat adalah naik-turunnya gagasan. Namun, yang tidak banyak dilihat adalah konteksnya, yakni perubahan posisi. Misalkan, kedekatan seseorang dengan lembaga/instansi/personal atau lainnya yang dapat mempengaruhi gagasan tersebut. Jadi, genealogi adalah pelacakan atau studi yang tidak hanya tentang gagasan saja, yang berubah dari generasi ke generasi. Lihat pemikirannya, namun juga lihat hubungannya dengan lingkungan sekitar.

Genealogi itu melacak asal-usul. Jadi pemikiran itu selalu punya asal-usul. Kajian genealogi selalu mengahsilkan generasi ini, generasi ini menghasilkan apa. Namun tidak sesederhana itu. Secara umu yang dilakukan oleh buku ini adalah melacak bagaimana umat Islam bisa sampai seperti saat ini. 20-30 tahun yang lalu, agak sulit jika melihat simbol-simbol Islam bisa muncul seperti saat ini dan banyak sekali. Saat ini kita bisa menyaksikan program-program Islam memenuhi media manapun.

Yudi Latif, memulai riset untuk menulis buku ini saat ditengah-tengah masa reformasi.

Yang menarik adalah, melacaknya tidak memakai tinjauan sejarah, namun genealogi. Genealogi jauh daripada sekadar tinjauan sejarah. Di Amerika, ada sebuah pulau kcil dimana ada museum yang isinya hanya koper. Kita bisa melacak siapa leluhurnya disana. Dengan kemudahan warga Amerika adalah memakai marga disana. Studi untuk melacak siapa itu asal-usulnya, adalah genealogi. Ini dalam bidang keluarga. Namun dalam konteks ini, yang dilacak adalah pemikirannya. Inilah yang dilakukan oleh Yudi Latif. Beliau melacak dari sudut pandang intelektualnya. Ia berusaha mempertemukan ide dan materi. Jadi, cendekiawanlah yang menentukan sejarah. Hanya sedikit orang. Sebagai contoh, mahasiswa Indonesia di Belanda. Yang dicatat hanyalah 38 mahasiswa saja. Padahal ada ratusan mahasiswa Indonesia saat itu.

Istilah cendekiawaan itu masih mengalami perdebatan saat ini. Kia bisa mempelajarinya lebih jauh dengan banyaknya sumber diluar forum ini, bisa Anda cari dari internet. Namun, cendekiawan yang dimaksud oleh Yudi Latif disini tidak hanya kelompok akademis, tetapi juga kelompok-kelompok yang melek secara inlektual, politik. Bisa ulama’, aktivis dan lainnya.

Ada istilah intelektual ulama’ dan ulama’ intelektual.

Jadi ada cendekiawan Indonesia, secara besarnya. Yang menarik adalah, naik-turunnya cendekiawan keseluruhan selaras dengan naik-turunnya cendekiawan muslim. Artinya, cendekiawan Islam ikut menentukan jalannya Indonesia, jadi tidak membuat cendekiawan keseluruhan terhambat atau bertentangan. Tetapi turut mendukung pasang-surut.

Perkembangan Islam di Indonesia, bisa dibagi menjadi enam generasi sebagaimana di tulis oleh Yudi Latif dalam buku ini. Apa saja generasi itu dan apa saja yang membentuknya? Berikut adalah penjelasannya.

Apa yang disebut generasi pertama disini? Contohnya adalah HOS Tjokroaminoto. Cendekiawan Muslim di awal ini dibagi menjadi dua, yakni Intelektual Ulama’ dan Ulama’ Intelektual. Ada Ulama’ besar Indonesia, namanya Syeikh Achmad Chatib yang belajar ke Arab saat itu. Yang menarik adalah, Hasyim Asy’ari dan Achmad Dahlan seperguruan ke Syeikh Achmad Chatib ini. Generasi pertama ini yang ikut membentuk ulama’ intelektual, di satu sisi adalah intelektual ulama’. Ada nama Agus Salim disini juga.

Kenapa mereka disebut generasi pertama?

Karena ini adalah generasi terpenting yang melahirkan Indonesia. Kelahiran generasi pertama ini sangat erat dengan politik etis. Dalam beberapa hal dipengaruhi oleh kebijakan politik etis, namun tidak dalam dampat utamanya, namun dampak sampingnya. Politik etis itu awalnya dibuat untuk kelas-kelas bangsawan atas. Sekolah-sekolah technisce dibuka untuk bangsawan. Namun, yang tidak dipahami oleh Belanda adalah bahwa bangsawan Jawa itu tidak mau untuk masuk dalam bidang technisce dan menjadi tukang. Sehingga, bangsawan lebih memilih sekolah yang lebih tinggi seperti STOVIA. Sepinya anak bangsawan yang masuk OSVIA dalam hal birokrat, sehingga diturunkan oleh Belanda ke golongan priyayi dan para pedagang. Ini adalah kecelakaan dari konsepsinya Belanda. Latar belakang pedagang yang berupa santri, disitulah awalnya mereka menikmati ilmu barat itu. Ada Muhammad Abduh yang membawa modernisasi dalam Islam. Gagasan-gagasan Muhammad Abduh ini yang menghasilkan intelektual Muslim.
Dari sana, akhirnya muncul santri terdidik. Sehingga muncullah intelektual muslim di Indonesia. Mereka antara lain adalah HOS Tjokroaminoto, Agus Salim. Yang menarik adalah Agus Salim disini. Agus Salim ini hebat, dari tiga sekolah yang dibuat oleh Belanda, Agus Salim inilah yang mempunyai nilai paling tinggi. Kalau digabung, maka nilai Agus Salim-lah yang tertinggi melebihi nilai dari siswa Belanda sendiri. Kalau sebelumnya ada Kartini yang pintar, namun akhirnya dipingit oleh ayahnya, dan beasiswanya diserahkan ke Agus Salim. Namun, karena Agus Salim bukanlah keturunan bangsawan, maka Belanda menolak beasiswa Agus Salim tersebut untuk lanjut sekolah di Belanda. Agus Salim di tawari untuk kerja di VOC, namun Agus Salim menolak. Namun, akhirnya ditawari kerja dibawah pemerintahan Belanda langsung, Agus Salim menerima. Karena dengannya, Agus Salim bisa setara dengan para pejabat tinggi VOC di Indonesia, karena langsung komando dari Kerajaan Belanda.

Yang menarik dari generasi pertama ini adalah memperbaharui pendidikan politik. Yang dibikin pertama adalah madrasah-madrasah.

Berikutnya adalah generasi kedua. Di bagian ini, muncul aspirasi untuk membentuk partai. Ada nama Wahid Hasyim, Kafrawi. Yang khas dari generasi kedua adalah gerakan yang berfokus pada gerakan politik. Kita tahu bahwa ada 9 kata di sila pertama dalam Pancasila. Meski akhirnya beberapa hilang hanya karena Mohammad Hatta. Dengan keberaniannya yang luar biasa, Hatta tampil kedepan dan akhirnya hanya ada sila pertama sebagaimana saat ini kita tahu. Di generasi kedua ini, sempat menemukan wadah yang bernama Masyumi. Masyumi dalam perkembangan berikutnya, terkesan formal. Generasi pertama dan kedua ini lahir dalam masa penjajahan Belanda.

Berikutnya adalah masa Jepang di Indonesia. Lahirlah generasi ketiga. Masa pendidikan Jepang ini, diajarkan tentang nasionalisme dan totaliter. Disana tokohnya antara lain adalah Mukti Ali, Deliar Noer, Zakiah Darajat, Lavra Pane yang mendirikan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam).
Generasi ketiga ini adalah hasil didikan Jepang yang totaliter, namun rindu akan Islam. Mereka membaca tentang Islam dengan semangat. Karena pendidikan yang mereka peroleh kebanyakan adalah tentang ilmu Barat dan sekuler, sehingga mereka bersemangat untuk mempelajari Islam.

Ada golongan yang bernama dewan dakwah yang bekerja secara underground atau gerakan bawah tanah dan ada yang memilih jalur political will dengan bergerak di permukaan. Dari sinilah lahir generasi ke-empat. Tokohnya Imadudin Abdul Rahim, Ismail Hasan Metareum, Cak Nurcholish Madjid, Amien Rais. Nama-nama besar ini, muncul dari jalur-jalur yang dipermukaan ini, yang memilih jalur political will di atas. Generasi keempat berbicara tentang bagaimana mempertemukan Islam dengan modernisasi dan pembangunan.

Kemudian ke generasi kelima. Yang dibawah pada generasi ketiga, muncullah generasi kelima. Generasi kelima diwakili oleh angkatan Azyumardi Azra, Fahri Ali, Masdar F. Masudi dan Marwah Daud Ibrahim. Sementara dari sayap aktivis dakwah ada Hidayat Nurwahid, Nurmahmudi Ismail, Ismail Mutammimul Ula. Generasi empat dan lima ini telah berhasil melahirkan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Yang menarik, di generasi kelima ini tidak hanya berbicara bidang politik saja.

Dari generasi kelima ini, melahirkan generasi ke-enam. Lagi-lagi pecah menjadi dua disini. Ini terjadi pada masa-masa reformasi. Tokohnya antara lain adalah Ulil Abshar-Abdalla, Hamid Basyaib, Saiful Mujani, Burhanudin, dan Nong Darol Mahmada. Mereka bukan saja mewakili generasi ke enam, tetapi gerakan liberalisme yang mereka usung juga dinilai paling mewarnai generasi Intelegensia Muslim pada saat ini. Sementara di sayap kanan fundamentalisnya terdapat nama, seperti Anis Matta dan Adian Husaini. Generasi membahas tentang sikap dari lanjutan dari demokrasi. Setelah demokrasi, lalu apa. Ini yang dikejar.

Sampai disini kemudia, Anda-Anda sekalian adalah masa-masa pembentukan generasi ketujuh. Masih belum jelas. Dan ini adalah PR kita bersama. Generasi tidak akan menjadi generasi jika kita tidak melakukan apa-apa dan sesuatu yang benar-benar baru dan mampu mempengaruhi sejarah perkembangan Islam dan Indonesia.

Buku tebal ini bagus untuk dibaca, karena data dan analisis yang dilakukan begitu mendalam. Meskipun begitu, buku ini menurut Mas Joko Susanto dalam kepenulisannya masih terpengaruh oleh pemikiran Nurcholish Madjid. Menurutnya, bagaimana mungkin buku setebal ini tidak mencantumkan Gus Dur didalamnya. 

0 comments:

Post a Comment

+