BAGAIMANA MEMAHAMI HADIS NABI SAW

RINGKASAN BUKU
BAGAIMANA MEMAHAMI HADIS NABI SAW KARYA Dr. YUSUF QARDHAWI
BAB III: BEBERAPA PETUNJUK DAN KETENTUAN UMUM
UNTUK MEMAHAMI AS-SUNNAH AN-NABAWIYAH DENGAN BAIK
Oleh: Abdul Ghofur*




1.      Memahami As-Sunnah sesuai Petunjuk Al-Qur’an

Kita memahami bahwasannya Al-Qur’an adalah “ruh” dari eksistensi Islam, dan merupakan asas bangunannya (konstitusi dasar) yang kepadanya bermuara segala perundang-undangan Islam. Sedangkan As-Sunnah adalah penjelasan terinci tentang isi konstitusi tersebut, baik dalam hal-hal yang bersifat teoretis ataupun penerapannya secara praktis. Sesuai dengan tugas Rasulullah SAW, yakni menjelaskan bagi manusia apa yang diturunkan oleh Allah SWT kepada mereka. Oleh sebab itu, tidaklah mungkin sesuatu yang merupakan “pemberi penjelasan” bertentangan dengan “apa yang hendak dijelaskan”.

Maka, penjelasan yang bersumber dari Nabi SAW, selalu dan senantiasa berkisar di seputar Al-Qur’an, dan tidak mungkin akan melanggarnya.  Karena itu, tidak mungkin ada sesuatu hadist sahih yang kandungannya berlawanan dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi keterangan-keterangan yang jelas dan aktif. Dan kalaupun ada sebagian dari kita memperkirakan adanya pertentangan seperti itu, maka hal itu pasti disebabkan tidak sahihnya hadis yang bersangkutan, atau pemahaman kita yang tidak tepat, ataupun apa yang diperkirakan sebagai “pertentangan” itu hanyalah bersifat semu, dan bukan pertentangan hakiki. Dan jika terdapat perbedaan paham di antara kaum fuqaha’ dalam menyimpulkan makna hadis-hadis, maka yang paling utama dan paling dekat dengan kebenaran adalah apa yang didukung oleh Al-Qur’an.

Adalah kewajiban setiap Muslim untuk tidak menerima begitu saja hadis yang dilihatnya bertentangan dengan ayat Al-Qur’an yang muhkam, selama tidak ada penafsirannya yang dapat diterima.

Perlunya Penelitian Saksama tentang Keberlawanan Suatu Hadis dengan Al-Qur’an

Mengenai hal ini, perlu kiranya diingatkan agar kita jangan sembarangan melontarkan tuduhan adanya keberlawanan antara hadis-hadis dan Al-Qur’an, tanpa dasar yang sahih. Bahwasannya Allah SWT adalah Maha Pemurah atas hamba-hamba-Nya, dengan mengutamakan sifat rahmah-Nya atas sifat keadilan-Nya. Yaitu dengan menjadikan ganjaran atas satu perbuatan baik, sebanyak sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat atau lebih dari itu. Dan menjadikan hukuman atas satu perbuatan buruk, hanya sebanding dengannya saja, atau bahkan mengampuninya sama sekali. Dan dijadikan-Nya pula pelbagai penghapus dosa-dosa, berupa sahalat-shalat lima waktu, shalat Jum’at, puasa Ramadhan dan shalat-shalat sunnah pada malam harinya, sedekah-sedekah, haji dan umrah, tasbih, tahlil, takbir, tahmid serta pelbagai zikir dan do’a lainnya, bahkan kesusahan apa saja yang menimpa diri seorang Muslim, baik yang berupa kelelahan, penyakit menahun, kerisauan hati, kesedihan ataupun gangguan yang sekecil-kecilnya, tertusuk duri, dan lain-lainnya …; semua itu merupakan peluang bagi diperolehnya pengampunan Allah SWT atas dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia.


2.      Menghimpun Hadis-hadis yang Terjalin dalam Tema yang Sama

Untuk berhasil memahami As-Sunnah secara benar, kita harus menghimpun semua hadis sahih yang berkaitan dengan suatu tema tertentu. Kemudian mengembalikan kadungannya yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengaitkan yang muthlaq dengan yang muqayyad, dan menafsirkan yang ‘aam dengan yang khaash. Dengan cara itu, dapatlah dimengerti maksudnya dengan lebih jelas dan tidak dipertentangkan antara hadis yang satu dengan yang lainnya.

Dan sebagaimana telah ditetapkan bersama, bahwa As-Sunna menafsirkan Al-Qur’an dan menjelaskan makna-maknanya; dalam arti bahwa ia (As-Sunnah) merinci apa yang dinyatakan oleh Al-Qur’an secara garis besarnya saja, menafsirkan bagian-bagiannya yang kurang jelas, mengkhususkan apa yang disebutnya secara umum dan membatasi apa yang disebutnya secara lepas (muthlaq); maka sudah barang tentu, ketentuan-ketentuan seperti itu harus pula diterapkan antara hadis yang satu dengan yang lainnya.


3.      Penggabungan atau Pentarjihan antara Hadis-hadis yang (Tampaknya) Bertentangan

Pada dasarnya, nash-nash syariat tidak mungkin saling bertentangan. Sebab, kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran. Karena itu, apabila diandaikan juga adanya pertentangan, maka hal itu hanya dalam tampak luarnya saja, bukan dalam kenyataannya yang hakiki. Dan atas dasar itu, kita wajib menghilangkannya dengan cara sebagai berikut:

            Apabila pertentangan itu dapat dihapus dengan cara menggabungkan atau menyesuaikan antara kedua nash, tanpa harus memaksakan atau mengada-ada, sehingga kedua-duanya dapat diamalkan, maka yang demikian itu lebih utama daripada harus mentarjihkan antara keduanya. Sebab, pentarjihan berarti mengabaikan salah satu dari keduanya sementara mengutamakan yang lainnya.

Penggabungan Didahulukan Sebelum Pentarjihan

Termasuk hal yang amat penting untuk memahami As-Sunnah dengan baik, ialah dengan cara menyesuaikan antara berbagai hadis sahih yang redaksinya tampak seolah-olah saling bertentangan, demikian pula makna kadungannya, yang sepintas lalu tampak berbeda. Semua hadis itu sebaiknya dikumpulkan, masing-masing dinilai secara proporsional, sedemikian sehingga dapat dipersatukan dan tidak saling berjauhan, saling menyempurnakan dan tidak saling bertentangan. Disini hanya menekankan pada hadis-hadis yang sahih saja, sebab yang dha’if  atau yang kurang mantap sanadnya, tidak termasuk dalam pembahasan.


4.      Memahami Hadis dengan Mempertimbangkan Latar Belakangnya, Situasi dan Kondisinya ketika Diucapkan, serta Tujuannya

Salah satu metode yang tepat dalam memahami hadis menurut Al-Qaradhāwī adalah dengan melihat sebab-sebab khusus atau alasan-alasan tertentu ('illah) yang menjadi latar belakang suatu hadis, baik yang tersurat maupun tersirat atau dipahami dari kejadian yang menyertainya. Hal ini penting karena adakalanya hukum yang terdapat dalam suatu hadis bersifat umum dan permanen, namun setelah dikaji lebih lanjut, hukum tersebut terkait dengan alasan (’illah) tertentu, sehingga hukum itu tidak akan berlaku jika alasannya tidak ada, dan demikian sebaliknya, hukum itu berlaku jika alasannya ada.

Siapa saja yang mau meneliti dengan seksama, pasti akan melihat bahwa diantara hadis-hadis, ada yang diucapkan berkaitan dengan kondisi temporer khusus, demi suatu maslahat yang diharapkan atau mudarat yang hendak dicegah, atau mengatasi suatu problem yang timbul pada waktu itu.

Ini berarti bahwa suatu hukum yang dibawa oleh suatu hadis, adakalanya tampak bersifat umum dan untuk waktu yang tak terbatas, namun jika diperhatikan lebih lanjut, akan diketahui bahwa hukum tersebut berkaitan dengan suatu ‘illah tertentu, sehingga ia akan hilang dengan sendirinya jika hilang ‘illah-nya, dan tetap berlaku jika masih berlaku ‘illah-nya.

Hal ini memerlukan pemahaman yang mendalam, pandangan yang teliti, pengkajian yang meliputi nash , serta wawasan yang luas untuk mengetahui tujuan-tujuan syariat dan hakikat-hakikat agama. Disamping it, juga diperlukan keberanian moril dan kemantapan kejiwaan untuk mencanangkan kebenaran, meskipun berlawanan dengan apa yang menjadi kebiasaan manusia atau telah mereka warisi dari nenek-moyang. Tindakan seperti ini tidaklah mudah.

Misalnya hadis yang menjelaskan keharusan mahram bagi wanita ketika bepergian, dalam shahih Al-Bukhari dan Muslim disebutkan,

 “Tidak boleh seorang perempuan bepergian, kecuali dengan mahramnya.”

Alasan di balik larangan ini adalah kekhawatiran akan keselamatan perempuan yang bepergian sendiri tanpa disertai suami atau mahram, karena situasi perjalanan di masa itu masih sangat lengang dan berbahaya terlebih sarana transportasi yang digunakan adalah unta, bighal dan keledai. Jika kekhawatiran itu hilang karena kondisi telah berubah seperti pada masa sekarang, di mana perjalanan jauh ditempuh dengan angkutan massal seperti pesawat dan kereta api yang mampu menampung seratus orang bahkan lebih, terlebih ketika ada jaminan keamanan, maka secara syariat perempuan yang melakukan bepergian sendiri tidak dianggap menyalahi hadis.


5.      Membedakan antara Sarana yang Berubah-ubah dan Sasaran yang Tetap

Beberapa hal yang menyebabkan kekacauan dan kekeliruan dalam memahami As-Sunnah, ialah bahwa sebagian orang mencampuradukkan antara tujuan atau sasaran yang hendak dicapai oleh As-Sunnah dengan prasarana temporer atau lokal yang kadangkala menunjang pencapaian sasaran yang dituju. Mereka memusatkan diri pada pelbagai prasarana ini, seolah-olah hal itu memang merupakan tujuan yang sebenarnya. Padahal, siapa saja yang benar-benar berusaha untuk memahami As-Sunnah serta rahasia-rahasia yang dikandungnya, akan tampak baginya bahwa yang penting adalah apa yang menjadi tujuannya yang hakiki. Itulah yang tetap dan abadi. Sedangkan yang berupa prasarana, adakalanya berubah dengan adanya perubahan lingkungan, zaman, adat, kebiasaan, dan sebagainya.

Sunnah sebagai tuntunan hidup terkadang memerintahkan kepada suatu hal, namun yang dikehendaki sebenarnya bukan hal itu sendiri tetapi ia hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang sebenarnya. Kegagalan membedakan antara sarana dan tujuan di dalam tuntunan-tuntunan sunnah menurut Al-Qaradhāwī dapat menyebabkan kesalahan dalam memahami sunnah. Sarana selalu berubah dari waktu ke waktu, dari satu tempat ke tempat yang lain, sehingga bersifat temporer. Sedangkan tujuan yang hendak dicapai bersifat permanen sebagai sebuah konsep ideal. Bahkan, menurutnya, ketika Alquran menentukan suatu sarana yang sesuai bagi tempat dan waktu tertentu, hal itu bukan berarti kita harus berhenti di sana dan tidak memikirkan sarana-sarana yang lainnya yang berubah seiring dengan perkembangan zaman dan tempat. Misalnya, ketika ayat Alquran berbicara tentang sarana untuk melakukan persiapan menghadapi musuh,

 “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka (kaum kafir) kekuatan apa saja yang kalian mampu dan kuda-kuda yang ditambat untuk berperang, demi menggetarkan musuh Allah, musuh kalian dan orang-orang selain mereka yang tidak kalian ketahui.” (QS. Al-Anfāl, 8: 60)

Pemahaman kita terhadap kata ‘persiapan untuk menghadapi musuh’ tentu saja tidak terbatas pada kuda sebagai sarana berperang, persis seperti sarana yang dikenal pada masa turunnya ayat itu, tetapi hari ini ‘kuda-kuda perang’ dipahami sebagai tank baja, panser, serta senjata-senjata modern lainnya. Demikian pula ketika ada hadis yang menjelaskan keutamaan memanah, maka dapat diartikan melempar dengan panah, senapan, meriam, rudal, atau senjata lainnya yang belum ada.

Ringkasan ini belumlah menjadi rujukan yang komprehensif, karena masih banyak hal yang belum bisa terangkum disini. Saya merekomendasikan untuk tetap membaca bukunya dengan baik. Dengan begitu, Anda akan menemukan sesuatu yang baru dalam memahami hadis Nabi SAW.



*Mahasiswa S1 Teknik Material dan Metalurgi FTI-ITS angkatan 2011 | abd.ghofur2044@gmail.com | +6285731182061 | @fuaffughofur


0 comments:

Post a Comment

+