Kita dan Kebenaran

[image source: www.google.com]


Akhir-akhir ini, kondisi berbangsa dan bernegara di Indonesia mengalami babak baru dalam bingkai era reformasi. Terutama dalam hal perpolitikan tanah air, dimana penyelenggaraan pilkada di DKI Jakarta mendapatkan tempat yang spesial dan berhasil menyita perhatian nasional. Demo bertajuk Aksi Bela Islam yang berjilid-jilid, ditambah lagi sekarang setelah putusan hakim terhadap Basuki Tjahaja Purnama (BTP) berupa vonis 2 tahun penjara, malah membuat suasana di masyarakat makin memanas.

Aksi menyalakan 1000 lilin di berbagai kota di Indonesia, juga beberapa negara di luar negeri, merupakan bentuk protes dari pendukung BTP yang menganggap bahwa putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta yang menangani kasus Ahok tak adil. Apalagi sehari setelah pembacaan vonis, ketiga hakim mendapatkan promosi dan mutasi jabatan.

Pelaporan-pelaporan atas nama penghinaan agama dan sejenisnya pun mulai dicari-dicari.

Aksi-aksi serupa di Jakarta juga terjadi di Pontianak. Mereka juga menyebutnya aksi bela islam. Sama seperti di Jakarta. Bahkan yang terakhir itu berakhir bentrok dengan gawai dayak yang juga turun ke jalan.

Banyak tulisan di media sosial, bukannya mendinginkan situasi, malah makin memanaskan. Ada yang mencoba mendinginkan, malah diserang dari kedua belah pihak yang berseteru. Dari perspektif masing-masing tentunya. Rasanya, se-objektif apapun seorang tokoh menulis, ujungnya adalah dicari dan dipetakan kira-kira ia lebih mendukung siapa, atau berada dikelompok mana. 'Siapa' lebih ditonjolkan daripada 'Apa' dalam menanggapi kasus yang terjadi.

Fenomena penulis muda bernama Afi yang baru lulus SMA di Banyuwangi lewat tulisannya yang berjudul "Warisan", nampaknya juga tak berhasil mendinginkan suasana. Banyak pihak masih melihat tulisan itu untuk memukul satu sama lain. Pihak yang setuju dengan isi tulisan tersebut, menggunakannya untuk menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh lawannya adalah sebuah kesalahan dan tindakan radikalisme dalam melihat keberagaman. Sementara pihak yang tak setuju, alih-alih mau mengambil hikmahnya, malah menolak habis isi tulisan dan beredar kabar bahwa sang penulis muda ini beberapa kali diancam baik via telephone maupun sms/WA. Wallahua'lam.

Dalam melihat permasalahan ini, justru yang terlintas dalam diri saya adalah: lagi-lagi nama Islam yang dirugikan (meski sejatinya Islam tak akan pernah rugi).

Alih-alih menyebut keberhasilan dalam mendatangkan ratusan ribu orang dalam setiap aksinya, mereka sama sekali tak mau mengambil hikmah yang lebih besar. Mereka menyebutnya sebagai kemenangan umat Islam. Saya tidak setuju, karena kemenangan sesungguhnya adalah mengalahkan diri sendiri. Dan itu tak akan pernah selesai proses menang-kalah selama manusia hidup.

Meruntut dari ilmu yang dijabarkan oleh Cak Nun, bahwa kebenaran itu setidaknya ada 3 (tiga) jenis/ tingkatan. Kebenaran yang pertama adalah kebenaran diri-sendiri/ subyektif. Kebenaran yang kedua adalah kebenaran orang banyak/ kolektif. Dan kebenaran yang ketiga adalah kebenaran yang hakiki/ilahi.

Permasalahan yang muncul di permukaan dan banyak meramaikan media tanah air adalah pada tingkatan pertama: kebenaran diri-sendiri/ subyektif. Terlihat jelas bahwa masing-masing kubu (yang terbagi dua), saling klaim bahwa merekalah yang paling benar. Alih-alih mendapatkan titik temu, caci maki makin merajalela dan mencuat ke permukaan. Mereka yang tak berilmu ini yang paling parah: misalnya sampai melaknat orang atau bahkan mendoakan kecelakaan/ musibah terhadap yang tak sepaham dengannya. Ini berbahaya, bukan hanya bagi dirinya sendiri (secara psikis dan spiritualnya) juga dalam kehidupan sosialnya kelak. Sebagai seorang muslim, melaknat orang sekalipun orang yang dilaknat tersebut dalam kesalahan adalah sebuah kesalahan itu sendiri. Ini sangat dilarang dan tak pernah dicontohkan sekalipun oleh Kanjeng Nabi SAW (semoga kita senantiasa meniru akhlak mulia beliau).

Kebenaran masing-masing ini, meskipun diadakan dialog untuk mencari titik temunya, hanya akan menghasilkan perselisihan-perselisihan baru kedepannya - jika tak dibarengi dengan kesadaran bahwa diatas kebenaran tersebut ada kebenaran orang banyak. Sulit akan naik ke level kebenaran kedua.

Apalagi permasalahan baru muncul dan memanas setelah Habib Rizieq Shihab (HRS) yang merupakan pentolan ormas Front Pembela Islam (FPI) berstatus sebagai tersangka dalam kasus dugaan pornografi dengan Firza Husein (FH) lewat chat mesum WA, dimana pihak FH sudah ditahan. Kondisi tersebut semakin memanas ketika HRS berada di luar negeri (Arab Saudi) dan tidak menghiraukan panggilan kepolisian dengan alasan perlawanan karena berkeyakinan bahwa kasus tersebut adalah rekayasa. Kondisi seperti ini tak baik, bukannya semakin mendewasakan kita sebagai manusia yang bernegara maupun ber-Islam, malah terkesan 'kuat-kuatan' antara pemerintah (elit politik) dengan rakyat/ malah elit politik yang lainnya.

Sebenarnya saya malas menulis terkait kondisi seperti ini, karena saya melihat mereka yang sekelas tokoh nasional saja tak mampu mendinginkan situasi yang ada, apalagi saya. Namun, saya sejatinya tidaklah berada pada pilihan netral karena saya turut dalam bagian orang-orang yang berdo'a kepada Allah SWT agar segera ditampakkan kebenaran yang nyata sehingga tak bisa dibantah lagi dan menjadi polemik baru.

Oleh karenanya, saya pribadi tak mau memposisikan dimana keberpihakan saya berada, karena saya tak mau berada di pihak keduanya. Sudah semestinya mereka yang mencintai kebenaran dan merindukan kesejahteraan untuk hadir-muncul dan menyuarakan ketentraman secara nasional. Bara itu janganlah ditambah lagi dengan kayu-kayu kering, apalagi disiram dengan bensin.

Mari simpan sendiri kebenaran-kebenaran kita ini, karena sebenarnya kebenaran bukanlah untuk diperdebatkan. Kebenaran itu haruslah kita proses menjadi output-output berupa kebaikan, kerukunan, ke-welas asihan, kesopanan, keselamatan bagi orang-orang disekitar kita. Dengannya, kebenaran itu tak lagi layak untuk diperdebatkan karena kebenaran itu telah menjadi sebenar-benarnya kebenaran.

Semoga Allah SWT selalu menunjukkan kita jalan yang lurus dan diridhoi-Nya. Aamin.

(Lumajang - 20:13)

2 comments: Leave Your Comments

  1. Sepakat banget masss. . Islam tidak akan pernah keliru. Saya pribadi cenderung kepala dingin kalau melihat banyak provokasi sperti yg skrng terjadi. Kebenaran hidup semuanya telah tertulis di kitab suci al-quran. 😀 Tfs pemikirannya. Dalam dan tepat banget sama kondisi skrng ini, kondisi memperdebatkan kebenaran yg sudah jelas kebenarannyaa. .kok jd panjang ya komennya. Wkwkwk 🙏

    ReplyDelete
  2. Thanks juga sudah baca dan sudi memberikan feedback positifnya 🙏

    ReplyDelete

+