Connecting the Dots

MENUJU VISI KETELADANAN


(sumber gambar: google.com)


Mari kita berbicara tentang visi.

Visi hidup seseorang, tak terlepas dari sifat dan kepribadian yang ada dalam diri seseorang itu sendiri. Oleh karenanya, tak setiap visi itu baik. Ada juga visi yang buruk: karena merugikan orang lain dan lingkungan, misalnya.

Lalu, bagaimana cara memastikan bahwa kita sudah benar dalam membuat visi (yang baik)?

Hal sederhana yang bisa kita lakukan adalah mengeceknya kembali. Apakah visi yang kita buat tersebut tidak merugikan orang lain dan juga diri sendiri. Hal itu sebaiknya kita dahulukan, sebelum menentukan dan membedah terkait manfaat-manfaat yang mungkin akan ditimbulkan.

Bagi saya pribadi ini penting dan mendasar. Meski pada kenyataannya ada juga yang lebih mementingkan manfaatnya yang besar, daripada kerugian dan kemudaratan yang ditimbulkan.

Daripada yang terakhir, saya lebih memilih yang pertama.

Dengan menjadikan visi tak merugikan banyak orang, mungkin kita hanya mendapatkan keuntungan dan kebermanfaatan yang kecil. Namun, saya percaya bahwa visi yang baik itu masih bisa kita tingkatkan dan kembangkan secara berkesinambungan kedepannya.

Bayangkan jika kita sudah mematok visi sedemikian rupa dan meyakini bahwa visi tersebut akan lebih banyak menimbulkan manfaat daripada mudharat, ketika suatu waktu terjadi hal yang tak diinginkan, maka gugurlah perjuangan yang sudah diusahakan untuk merealisasikan visi. Orang merasa dirugikan. Orang akan memberikan penilaiam negatif. Meski sebenarnya banyak manfaat yang bisa mereka dapatkan.

TULISLAH, MAKA SETENGAH IMPIANMU SUDAH KAU RAIH!


[picture from http://www.sedic.es]

Twenty years from now you will be more disappointed by the things that you didn’t do than by the ones you did do. So throw off the bowlines. Sail away from the safe harbor. Catch the trade winds in your sails. Explore. Dream. Discover. - Mark Twain

Perjalan kita sebagai manusia terus berlanjut. Lika-liku kehidupan kita jalani setiap harinya, baik yang menyenangkan maupun menyakitkan. Tak pelak, seberapa bermanfaatnya kita menjadi manusia ditentukan oleh keputusan-keputusan yang kita ambil dan pilih untuk dilaksanakan.

Resep sukses dalam kehidupan manusia tetaplah sama (sepanjang era manusia eksis di dunia fana ini), yakni kerja keras; sungguh-sungguh; dan menjalani dengan sebaik-baiknya.

Bodoh namanya jika mengharapkan hasil yang besar namun visi dan langkah yang diambil sama sekali tak sebesar harapan yang diinginkan. Itulah yang disebut angan-angan.

Tanamkan dalam diri kita dengan baik bahwa tidak ada keberuntungan yang instan. Maksudnya, keberuntungan hanya akan tercipta dan terjadi kepada mereka yang memang siap untuk menerima dan mau mengambil keberuntungan itu.

Ribuan buku telah ditulis dan ratusan ribu tulisan telah terpublikasikan dengan baik, bahwa kunci sukses tetaplah itu-itu saja. Pada intinya, dari kesemua buku dan tulisan itu isinya sama. Yang membedakan hanya terletak pada faktor manusianya sendiri.

Filosofi dan doktrin 'kalau dia bisa, saya tentu bisa. Bahkan lebih baik!' harus terus disebarkan, ditularkan dan dipahamkan dengan baik kepada seluruh manusia yang mengharapkan perubahan dalam kehidupannya.

Yang menjadi penghambat kita sebenarnya bukan seberapa besar dan seberapa banyak kita menemui masalah-masalah setiap harinya. Penghambat terbesar atas kacaunya realisasi impian yang sudah ditentukan adalah diri kita sendiri.


Masalahnya itu bukan pada orang lain, tapi pada diri kita sendiri.

Jadi, jangan mencoba menyalahkan orang lain apalagi keadaan, sebelum benar-benar objektif mengevaluasi dan menilai diri kita sendiri.

Jelas, kita telah memahami dengan baik bahwa peperangan terbesar adalah memerangi hawa nafsu, sebagaimana dawuh kanjeng Nabi Muhammad SAW kepada para sahabat yang telah memenangkan perang melawan kaum quraisy.

Maka, sejatinya jika kita mau naik kelas, maka kita harus mengalahkan sifat-sifat buruk yang ada pada diri kita secara berkelas. Dari yang paling mudah untuk kita hadapi dan lawan. Itu cara terbaik dan termudah untuk benar-benar bisa naik kelas dan memenangkan pertarungan dengan diri kita sendiri.

Membuang sampah pada tempat sampah, dan kalau tidak ada kita menyimpannya dan lalu membuangnya ketika ada. Berolahraga secukupnya setiap hari daripada tidur pagi. Membaca Al-Qur'an di waktu luang daripada melamun tidak jelas, atau menghabiskan terlalu banyak waktu hanya untuk membuka media sosial yang sebenarnya isinya itu-itu aja. Atau hal positif lainnya disaat kita ingin melakukan hal-hal yang kurang produktif.

Memiliki visi yang kuat itu penting. Merealisasikan visi itu jauh lebih penting. Apa yang kita pahami, seringkali hanya sebatas gambaran yang tak nyata. Maka kita harus merealisasikannya agar anugerah kehidupan sebagai manusia ini tak sia-sia.

Banyaknya peluang dan kesempatan seseorang, sejatinya diciptakan olehnya sendiri. Keterbatasan dalam melihat peluang adalah bentuk dari kesempitan kita dalam berpikir. Maka, agar kita dapat mengira-ngira dan bahkan bisa menghindari berbagai macam risiko yang tak diinginkan terkait realisasi visi, yang dibutuhkan adalah menulisnya. Ya, menulisnya. Itu dulu saja. Sederhana. :)

Karena, dengan menulisnya maka setengah impianmu sudah kau raih.


Benarkah Passion merupakan Kunci Kesuksesan?

Benarkah Passion merupakan Kunci Kesuksesan?



Fig. 1 - Find Your Passion image(google.com)

       Dalam banyak artikel dan tulisan mengenai motivasi, seringkali kita menjumpai kata "passion". Tentu yang bilang demikian bukanlah orang sembarangan dibidangnya. Anda tentu pernah tahu Rene Suhardono. Ia seringkali menyantumkan kata ini dalam tulisan-tulisannya. Begitu pula dengan banyak motivator dan analis di dunia bisnis. Kata ini terus menyebar dan mulai menjadi perhatian bagi anak-anak muda. Dengan semakin banyaknya anak muda yang cukup sukses, dengan pesan "passion" yang mereka dengungkan, semakin banyak dari anak-anak muda lainnya dibuat untuk menimbang-nimbang, mencari tahu dan menebak kira-kira apa passion mereka.

       Terkait hal itu, beberapa dari mereka berhasil menemukan passion-nya. Namun, tak sedikit dari mereka yang gagal. Hingga akhirnya mereka selesai dengan masa kuliah S1-nya. Tiba ke masa dimana kebahagiaan dan kecemasan menjadi satu rasa.

       Lalu, bagaimana dengan nasib mereka?

       Yang pertama, mereka yang berhasil menemukan passion-nya. Bagi mereka tentu tak sulit akan melakukan dan menjadi seperti apa kedepannya. Yang passion di dunia science mereka tentu sudah mempersiapkan studi ke jenjang master atau memilih bekerja di bidang yang berhubungan dengan science.

       Yang passion berwirausaha tentu akan memperbesar dan meningkatkan kualitas usaha yang dirintisnya. Pun dengan mereka yang passion dengan hal-hal yang bertolak belakang dengan bidang keilmuannya saat kuliah, mereka tak akan bingung untuk memutuskan tidak mengambil atau meneruskan kembali kesalahan pilihan yang pernah ia buat sebelumnya.

Hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama dua kali. - Pepatah
     Mari kita coba duga apa yang terjadi dengan mereka yang gagal menemukan passion-nya. Sampai akhirnya ia menjalani wisuda dan status sebagai mahasiswa telah berakhir.

     Saya menduga kebanyakan mereka kebingungan. Dari apa yang sudah ia targetkan sejak awal, perlahan ia ubah karena persiapan yang tak memenuhi persyaratan.

     Saat sebagian dari teman mereka diterima kerja atau sekolah ke jenjang lebih tinggi, mereka mulai kebingungan. Apakah ia tetap dengan impiannya, ataukah 'banting setir' karena tak kunjung tercapai. Sementara bulan demi bulan terlewat semenjak ia lulus. Dan sekarang masih menyandang status sebagai 'pengangguran'.

     Tentu perasaan cemas menghinggapi mereka. Pekerjaan yang tak kunjung didapat, persyaratan kuliah master yang terlalu tinggi, atau bahkan desakan dari banyak pihak tak terkecuali dari orang tua.

     Perasaan cemas makin menjadi. Saya pribadi cukup mengamati peristiwa ini. Baik dari senior ataupun kawan-kawan seangkatan. 

     Maka, saya akan mengambil sebuah contoh sederhana. Meski ini tak bisa menjadi generalisasi dari kehidupan nyata.

     Saya pernah kenal seorang senior. Beda kampus. Sebut saja namanya Luki. Saat saya masih semester 7, ia sudah lulus. 3,5 tahun. Saat itu ia sudah hampir satu tahun menjalani masa 'penganggurannya'. Ia bercerita memang ingin masuk ke BUMN impiannya. Itulah mengapa hampir satu tahun ia belum juga bekerja.

     Akhirnya, ia memutuskan untuk masuk ke perusahaan dimanapun ia diterima. Ya, singkat cerita ia masuk ke perusahaan swasta. Tak besar. Apalagi gaji yang ia terima jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan kawannya saat kuliah. Beberapa bulan berjalan, saat kutemui ia sudah bekerja di perusahaan lain katanya. Ia bekerja 3 bulan di perusahaan swasta A. Kemudian ia pindah ke perusahaan swasta B selama 1 bulan. Dan kini, sudah 5 bulan ia bekerja di perusahaan swasta C saat aku tak sengaja bertemu dengannya di Semarang setahun yang lalu.

     Ia banyak bercerita, dan juga berpesan kepadaku sebagai seorang yang belum memasuki dunia kerja saat itu. In this condition, I really sure what I say if I will choose to work after graduate from campus.

And now, saya sudah bekerja di Pabrik. Sama seperti dia. Meski beda line business dan beda lokasi serta banyak bedanya.

Yang terpenting dari pembicaraan saat itu adalah 'passion dan tempat kerja'.

Ia banyak bercerita jika ia sebenarnya tak passion dengan kerjaan yang ia terima. Namun, karena sudah setahun dalam masa menganggur, maka ia pun memilih untuk menjalaninya. Meski pada akhirnya ia mengalami loncat sedang dan loncat kecil ke beberapa perusahaan lainnya.

Namun, siapa sangka akhirnya aku bertemu dengannya kembali. Tepat setelah aku hampir satu tahun menjalani pekerjaan di pabrik.

Yang membuat saya menarik adalah, apa yang ia ceritakan dan pesankan kepadaku kemudian.

Dalam menjalani kehidupan di pabrik, ia menjalani berbagai macam kondisi yang membuatnya tak nyaman. Antara lain harus bekerja tepat waktu, dimana jam 7 pagi ia harus sudah ada di lapangan dan jam 3 sore ia sudah boleh berhenti. Namun, tidak bisa meninggalkan pekerjaannya jika belum jam 3 sore. Padahal, ia masih perlu untuk beres-beres dan membersihkan diri. Kira-kira memakan waktu 10 - 15 menit. Itu artinya, ia baru bisa checklock pulang sekitar 10 - 15 menit lebih lama. Belum waktu untuk jalan ke tempat checklock pulang sekitar 5 menit, dan antrian sekitar 5-7 menit. Sementara perjalanannya untuk kembali ke kos dari tempat kerja memakan waktu sekitar 30 menit jika lancar. Kalau lagi ramai dan macet bisa sampai 1 jam. Itu artinya, ia baru sampai kos kira-kira 1 jam kemudian. Dan 1 jam waktu keberangkatan dari kos ke tempat kerja. Dimana jam 06:30 ia sudah harus ada di pabrik. Bayangkan itu terjadi dari hari Senin - Sabtu, dengan setengah hari kerja pada hari Sabtu. Namun, tetap saja. Ia merasa terlalu banyak buang waktu hanya untuk perjalanan yang sebenarnya tak perlu untuk dilakukan, tetapi apa boleh buat. Itu adalah jalur terdekat dan waktu paling efisien yang dapat ia lakukan

Setelah bekerja setahun di perusahaan terkahir, ia akhirnya memutuskan untuk resign dan meninggalkan aktivitas kerja di pabrik. Ia telah mengevaluasi ketiga pabrik yang pernah ia geluti, dan dari ketiganya ia merasa bahwa ia tak bisa bahagia menjalani aktivitasnya. Tak bisa berkarya dan memaksimalkan potensi yang ia miliki dan ingin kembangkan.

Banyak hal. Mulai dari ia harus mematuhui sistem yang sudah ada, meski ia bercerita bahwa seharusnya sistem tersebut harus mulai dirubah karena sudah usang dan tua. Di dua perusahaan awal, atasannya sama-sama lulusan S1 dan menurutnya tak pantas menjadi pimpinannya, karena ia merasa tak pernah mendapatkan pengembangan diri dari para atasannya tersebut. Lain lagi dengan perusahaan yang terakhir, yang terlama ia bekerja. Satu tahun lamanya.

Meski atasannya cukup baik dan berwawasan luas, namun kondisi perusahaan yang sering bermain belakang, akhirnya membuatnya untuk memutuskan resign. 

Impiannya untuk bekerja di BUMN pun tak ia perjuangkan lagi. Apalagi dengan kondisi BUMN yang menurut kabar umum cara kerjanya tak profesional. Pokoknya, ia tak mau bekerja di pabrik lagi.

Lalu, apa yang terjadi selanjutnya dengan Mas Luki ini? Bukan Mas Luki namanya kalau menyerah. Ia bercerita bahwa ia teringat masa-masa perjuangannya dahulu saat masih menjadi mahasiswa. Ia memiliki semacam keberanian dan kepercayaan diri yang kuat, yang telah mengantarkannya menjadi seorang kepala departemen yang hebat dan terkenal di kampusnya.

Akhirnya ia memilih untuk membuka usaha sendiri. Usia usahanya memang belum besar. Dan belum genap 1 tahun lamanya. Namun, ia merasa optimis dengan pilihannya. Ia melihat keberhasilan dan kesuksesan. Katanya, "Seburuk apapun penilaian orang terhadap keputusan yang telah kita ambil, tak akan bisa menghambat dan menghentikan impian kita untuk berhasil dan sukses dimasa depan. Kau tahu kenapa? Karena kita sendiri yang memilih, dan tentunya kita memilih untuk berhasil dan sukses."

Dengan tawa lepasnya, ia menepukku juga. Dan bertanya mengenai aktivitas pekerjaanku disini. Ya, sebagai juniornya tentu aku menceritakannya

Kemudian ada hal menarik lain yang ia sampaikan.

Benarkah Passion merupakan Kunci Kesuksesan?
 "Benarkah passion merupakan kunci kesuksesan?", tanyanya kepadaku. Aku pun menjawabnya dengan iya. Tentu saja, karena menurutku itulah yang mendorong seseorang untuk bekerja dan menghasilkan sesuatu yang lebih baik dan memuaskannya.

Lalu, ia dengan nada serius menjelaskan, "Benar. Passion memang membuat seseorang menjadi luar biasa. Ia dapat bekerja dan melakukan hal-hal hebat lainnya ketika ia benar-benar passion terhadap bidang yang ia geluti."

Kemudian ia bertanya kepadaku, "Menurutmu, Muhammad Ali; Taufik Hidayat; Warren Buffet; atau Jack Ma adalah orang-orang yang passion dengan pekerjaan mereka? Saya pribadi menduga, bahwa kesemua dari mereka sudah lupa apa itu passion atau bahkan tak mengenalnya."

"Bagi saya, mereka adalah orang-orang pekerja keras. Mereka adalah orang-orang yang jujur dengan dirinya sendiri, dan mereka adalah orang-orang yang disiplin. Kita tak pernah betul-betul tahu aktivitas apa saja yang dilakukannya setiap hari, setiap bulan, setiap tahun secara berulang-ulang 


Fig. 2 - Jack Ma: Founder Alibaba Group
(bloomberg.com)
      
+