Benarkah Passion merupakan Kunci Kesuksesan?

Benarkah Passion merupakan Kunci Kesuksesan?



Fig. 1 - Find Your Passion image(google.com)

       Dalam banyak artikel dan tulisan mengenai motivasi, seringkali kita menjumpai kata "passion". Tentu yang bilang demikian bukanlah orang sembarangan dibidangnya. Anda tentu pernah tahu Rene Suhardono. Ia seringkali menyantumkan kata ini dalam tulisan-tulisannya. Begitu pula dengan banyak motivator dan analis di dunia bisnis. Kata ini terus menyebar dan mulai menjadi perhatian bagi anak-anak muda. Dengan semakin banyaknya anak muda yang cukup sukses, dengan pesan "passion" yang mereka dengungkan, semakin banyak dari anak-anak muda lainnya dibuat untuk menimbang-nimbang, mencari tahu dan menebak kira-kira apa passion mereka.

       Terkait hal itu, beberapa dari mereka berhasil menemukan passion-nya. Namun, tak sedikit dari mereka yang gagal. Hingga akhirnya mereka selesai dengan masa kuliah S1-nya. Tiba ke masa dimana kebahagiaan dan kecemasan menjadi satu rasa.

       Lalu, bagaimana dengan nasib mereka?

       Yang pertama, mereka yang berhasil menemukan passion-nya. Bagi mereka tentu tak sulit akan melakukan dan menjadi seperti apa kedepannya. Yang passion di dunia science mereka tentu sudah mempersiapkan studi ke jenjang master atau memilih bekerja di bidang yang berhubungan dengan science.

       Yang passion berwirausaha tentu akan memperbesar dan meningkatkan kualitas usaha yang dirintisnya. Pun dengan mereka yang passion dengan hal-hal yang bertolak belakang dengan bidang keilmuannya saat kuliah, mereka tak akan bingung untuk memutuskan tidak mengambil atau meneruskan kembali kesalahan pilihan yang pernah ia buat sebelumnya.

Hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama dua kali. - Pepatah
     Mari kita coba duga apa yang terjadi dengan mereka yang gagal menemukan passion-nya. Sampai akhirnya ia menjalani wisuda dan status sebagai mahasiswa telah berakhir.

     Saya menduga kebanyakan mereka kebingungan. Dari apa yang sudah ia targetkan sejak awal, perlahan ia ubah karena persiapan yang tak memenuhi persyaratan.

     Saat sebagian dari teman mereka diterima kerja atau sekolah ke jenjang lebih tinggi, mereka mulai kebingungan. Apakah ia tetap dengan impiannya, ataukah 'banting setir' karena tak kunjung tercapai. Sementara bulan demi bulan terlewat semenjak ia lulus. Dan sekarang masih menyandang status sebagai 'pengangguran'.

     Tentu perasaan cemas menghinggapi mereka. Pekerjaan yang tak kunjung didapat, persyaratan kuliah master yang terlalu tinggi, atau bahkan desakan dari banyak pihak tak terkecuali dari orang tua.

     Perasaan cemas makin menjadi. Saya pribadi cukup mengamati peristiwa ini. Baik dari senior ataupun kawan-kawan seangkatan. 

     Maka, saya akan mengambil sebuah contoh sederhana. Meski ini tak bisa menjadi generalisasi dari kehidupan nyata.

     Saya pernah kenal seorang senior. Beda kampus. Sebut saja namanya Luki. Saat saya masih semester 7, ia sudah lulus. 3,5 tahun. Saat itu ia sudah hampir satu tahun menjalani masa 'penganggurannya'. Ia bercerita memang ingin masuk ke BUMN impiannya. Itulah mengapa hampir satu tahun ia belum juga bekerja.

     Akhirnya, ia memutuskan untuk masuk ke perusahaan dimanapun ia diterima. Ya, singkat cerita ia masuk ke perusahaan swasta. Tak besar. Apalagi gaji yang ia terima jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan kawannya saat kuliah. Beberapa bulan berjalan, saat kutemui ia sudah bekerja di perusahaan lain katanya. Ia bekerja 3 bulan di perusahaan swasta A. Kemudian ia pindah ke perusahaan swasta B selama 1 bulan. Dan kini, sudah 5 bulan ia bekerja di perusahaan swasta C saat aku tak sengaja bertemu dengannya di Semarang setahun yang lalu.

     Ia banyak bercerita, dan juga berpesan kepadaku sebagai seorang yang belum memasuki dunia kerja saat itu. In this condition, I really sure what I say if I will choose to work after graduate from campus.

And now, saya sudah bekerja di Pabrik. Sama seperti dia. Meski beda line business dan beda lokasi serta banyak bedanya.

Yang terpenting dari pembicaraan saat itu adalah 'passion dan tempat kerja'.

Ia banyak bercerita jika ia sebenarnya tak passion dengan kerjaan yang ia terima. Namun, karena sudah setahun dalam masa menganggur, maka ia pun memilih untuk menjalaninya. Meski pada akhirnya ia mengalami loncat sedang dan loncat kecil ke beberapa perusahaan lainnya.

Namun, siapa sangka akhirnya aku bertemu dengannya kembali. Tepat setelah aku hampir satu tahun menjalani pekerjaan di pabrik.

Yang membuat saya menarik adalah, apa yang ia ceritakan dan pesankan kepadaku kemudian.

Dalam menjalani kehidupan di pabrik, ia menjalani berbagai macam kondisi yang membuatnya tak nyaman. Antara lain harus bekerja tepat waktu, dimana jam 7 pagi ia harus sudah ada di lapangan dan jam 3 sore ia sudah boleh berhenti. Namun, tidak bisa meninggalkan pekerjaannya jika belum jam 3 sore. Padahal, ia masih perlu untuk beres-beres dan membersihkan diri. Kira-kira memakan waktu 10 - 15 menit. Itu artinya, ia baru bisa checklock pulang sekitar 10 - 15 menit lebih lama. Belum waktu untuk jalan ke tempat checklock pulang sekitar 5 menit, dan antrian sekitar 5-7 menit. Sementara perjalanannya untuk kembali ke kos dari tempat kerja memakan waktu sekitar 30 menit jika lancar. Kalau lagi ramai dan macet bisa sampai 1 jam. Itu artinya, ia baru sampai kos kira-kira 1 jam kemudian. Dan 1 jam waktu keberangkatan dari kos ke tempat kerja. Dimana jam 06:30 ia sudah harus ada di pabrik. Bayangkan itu terjadi dari hari Senin - Sabtu, dengan setengah hari kerja pada hari Sabtu. Namun, tetap saja. Ia merasa terlalu banyak buang waktu hanya untuk perjalanan yang sebenarnya tak perlu untuk dilakukan, tetapi apa boleh buat. Itu adalah jalur terdekat dan waktu paling efisien yang dapat ia lakukan

Setelah bekerja setahun di perusahaan terkahir, ia akhirnya memutuskan untuk resign dan meninggalkan aktivitas kerja di pabrik. Ia telah mengevaluasi ketiga pabrik yang pernah ia geluti, dan dari ketiganya ia merasa bahwa ia tak bisa bahagia menjalani aktivitasnya. Tak bisa berkarya dan memaksimalkan potensi yang ia miliki dan ingin kembangkan.

Banyak hal. Mulai dari ia harus mematuhui sistem yang sudah ada, meski ia bercerita bahwa seharusnya sistem tersebut harus mulai dirubah karena sudah usang dan tua. Di dua perusahaan awal, atasannya sama-sama lulusan S1 dan menurutnya tak pantas menjadi pimpinannya, karena ia merasa tak pernah mendapatkan pengembangan diri dari para atasannya tersebut. Lain lagi dengan perusahaan yang terakhir, yang terlama ia bekerja. Satu tahun lamanya.

Meski atasannya cukup baik dan berwawasan luas, namun kondisi perusahaan yang sering bermain belakang, akhirnya membuatnya untuk memutuskan resign. 

Impiannya untuk bekerja di BUMN pun tak ia perjuangkan lagi. Apalagi dengan kondisi BUMN yang menurut kabar umum cara kerjanya tak profesional. Pokoknya, ia tak mau bekerja di pabrik lagi.

Lalu, apa yang terjadi selanjutnya dengan Mas Luki ini? Bukan Mas Luki namanya kalau menyerah. Ia bercerita bahwa ia teringat masa-masa perjuangannya dahulu saat masih menjadi mahasiswa. Ia memiliki semacam keberanian dan kepercayaan diri yang kuat, yang telah mengantarkannya menjadi seorang kepala departemen yang hebat dan terkenal di kampusnya.

Akhirnya ia memilih untuk membuka usaha sendiri. Usia usahanya memang belum besar. Dan belum genap 1 tahun lamanya. Namun, ia merasa optimis dengan pilihannya. Ia melihat keberhasilan dan kesuksesan. Katanya, "Seburuk apapun penilaian orang terhadap keputusan yang telah kita ambil, tak akan bisa menghambat dan menghentikan impian kita untuk berhasil dan sukses dimasa depan. Kau tahu kenapa? Karena kita sendiri yang memilih, dan tentunya kita memilih untuk berhasil dan sukses."

Dengan tawa lepasnya, ia menepukku juga. Dan bertanya mengenai aktivitas pekerjaanku disini. Ya, sebagai juniornya tentu aku menceritakannya

Kemudian ada hal menarik lain yang ia sampaikan.

Benarkah Passion merupakan Kunci Kesuksesan?
 "Benarkah passion merupakan kunci kesuksesan?", tanyanya kepadaku. Aku pun menjawabnya dengan iya. Tentu saja, karena menurutku itulah yang mendorong seseorang untuk bekerja dan menghasilkan sesuatu yang lebih baik dan memuaskannya.

Lalu, ia dengan nada serius menjelaskan, "Benar. Passion memang membuat seseorang menjadi luar biasa. Ia dapat bekerja dan melakukan hal-hal hebat lainnya ketika ia benar-benar passion terhadap bidang yang ia geluti."

Kemudian ia bertanya kepadaku, "Menurutmu, Muhammad Ali; Taufik Hidayat; Warren Buffet; atau Jack Ma adalah orang-orang yang passion dengan pekerjaan mereka? Saya pribadi menduga, bahwa kesemua dari mereka sudah lupa apa itu passion atau bahkan tak mengenalnya."

"Bagi saya, mereka adalah orang-orang pekerja keras. Mereka adalah orang-orang yang jujur dengan dirinya sendiri, dan mereka adalah orang-orang yang disiplin. Kita tak pernah betul-betul tahu aktivitas apa saja yang dilakukannya setiap hari, setiap bulan, setiap tahun secara berulang-ulang 


Fig. 2 - Jack Ma: Founder Alibaba Group
(bloomberg.com)
      

0 comments:

Post a Comment

+