BERSYUKUR SEBAGAI BENTUK PENGAKUAN
JIWA RABBANI
Oleh : Abdul Ghofur
Minggu, 22 Juli pukul 03.14 aku ulangi kebiasaan naik ke atap kosan. Kebiasaan yang membuatku sering dicari karena tidak ditemukan oleh teman-temanku saat bulan-bulan biasa yang aku lakukan setiap ba’da isya, tapi kali ini di Bulan Ramadhan aku lakukan setelah bersantap sahur. Dengan bersandarkan tiang yang ada di atap kosan sebagai tempat menjemur pakaian, aku mulai ritual dengan memejamkan mata dan merasakan kehadiran allah SWT. Ini bukanlah ritual sebagaimana kata ritual yang mulai bergeser maknanya menjadi “buruk” karena dihubung-hubungkan dengan kesesatan. Tidak. Sekali-kali tidak.
Bagiku, melewati malam dengan
hal-hal yang kurang bermanfaat adalah suatu hal yang merugi. Merugi karena
tidak ada bentuk perlakuan khusus terhadap waktu yang diberikan kepada manusia.
Merugi karena seringkali kita akan menyesal ketika pagi datang dan tugas kita
yang seharusnya malam sebelumnya bisa diselesaikan, tidak terselesaikan. Inilah
bentuk transformasi ketika beberapa pengalaman hidupku tak menemukan nikmat dan
tersesat di lingkaran kemalasan. Kemalasan yang membatasi jiwa kreatif yang
dirahmatkan Allah menjadi enggan untuk berkembang.
Ada hal yang unik ketika aku
melakukan kebiasaan ini. Setiap kali aku memandangi langit, selalu saja jiwa
seniku mengalami kenaikan dalam memahami ciptaan-Nya yang MahaIndah. Langit
yang berhias bintang-gumintang nan indah, terasa memanjakan mata untuk
memandang kebesaran ciptaan-Nya. Kumpulan awan yang membentuk sebuah awan
besar, ada yang tebal, pun juga ada yang tipis seakan perbedaan tersebut
merupakan pelengkap dan penambah suasana malam menjadi lebih indah. Memang di
awal Ramadhan ini bulan tidak terlihat, karena merupakan bulan awal.
Memanfaatkan waktu sebaik mungkin
Manusia dianugerahkan waktu oleh
Allah SWT sebanyak 24 jam dalam sehari. Semua manusia sama. 24 jam per hari.
Namun, fakta dilapangan yang sering kita temui ialah ada manusia yang bisa
melakukan lebih daripada yang lain. Sebagai contoh misalnya, mahasiswa A dan
mahasiswa B adalah sama-sama mahasiswa di PTN yang sama, di Jurusan yang sama,
di kelas yang sama, dan di mata kuliah yang sama lengkap dengan dosen yang sama
pula. Ketika sang dosen memberikan tugas kepada para mahasiswanya, termasuk
mahasiswa A dan mahasiswa B dengan deadline
pengumpulan yang sama, apakah semuanya bisa menyelesaikannya dengan baik?
Ternyata tidak. Hari saat pengumpulan tugaspun tiba. Mahasiswa A dengan tenang
seminggu setelah pemberian tugas mengumpulkannya. Sedangkan mahasiswa B, dengan
apa adanya ia mengumpulkan tugasnya, karena baru sehari sebelumnya ia mencoba
mengerjakannya. Berbeda dengan mahasiswa A yang segera mengerjakan tugas
setelah sampai di rumahnya, sehingga ia masih punya banyak waktu untuk
memperbaiki tugasnya tersebut dihari berikutnya. Saat pengumuman nilai indeks
prestasi tiba, sudah tentu bisa ditebak siapa yang mendapatkan nilai yang baik,
dan sebaliknya.
Berdasarkan pemisalan diatas,
dapatlah kita mengambil hikmah dan pelajaran bahwa menunda-nunda pekerjaan,
pastilah akan merugikan diri sendiri. Tidak hanya rugi dalam satu hal, missal
hanya dalam mata kuliah tertentu yang dimaksud dalam pemisalan diatas dengan
tugasnya, melainkan kompleks karena berimbas kepada mata kuliah yang lain.
Menjadi pribadi yang disiplin
Mensyukuri setiap hal yang kita
dapatkan dalam hidup merupakan sikap yang terpuji. Sebagai makhluk Tuhan yang
penuh dengan kekurangan dan sebagai tempat salah membuat manusia seringkali
lalai dan berprasangka buruk ketika dilanda dengan ujian-ujian yang dialaminya.
Allah tidak akan memberikan ujian kepada makhluknya diluar batas kemampuannya. Mencoba
terbuka dengan kejadian disekitar kita, bahwa kebanyakan orang yang mengalmi
sukses dalam hidupnya adalah mereka yang tak pernah putus asa dan terus berusaha
untuk keluar dari kepasrahan oleh rasa menyerah. Semangat dan keyakinan mereka
inilah yang bisa kita contoh dan tanamkan sebagai hal yang seharusnya kita juga
bisa melakukannya sehingga kita tak cepat menyerah dalam mengahadapi cobaan dan
bersemngat dalam meraih cita-cita dan asa kita.
“Mereka (Para Jin)
bekerja untuk Sulaiman sesuai dengan apa yang dikehendakinya, di antaranya
(membuat) gedung-gedung yang tinggi, patung-patung, piring-piring yang
(besarnya) seperti kolam dan periuk-periuk yang tetap (berada di atas tungku).
Bekerjalah wahai keluarga Daud untuk bersyukur kepada Allah. Dan sedikit sekali
dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur”. (Saba’:13)
Ayat diatas menceritakan kepada manusia mengenai nikmat yang
dianugerahkan kepada Nabi Daud as sebagai bentuk kenikmatan yang luar bisa bagi
manusia. Nabi Daud as adalah teladan yang baik dalam hal bersyukur. Nabi Daud
as terkenal dengan sikap syukurnya yang totalitas. Bagaimana tidak, kenikmatan
yang diharapkan dikabulkan oleh Allah SWT. Nabi Daud adalah contoh yang sangat
layak kita contoh dan teladani.
Kemauan untuk senantiasa bersyukur, karena menyadari betapa besar
kasih saying Allah kepada seseorang, akan membuat pribadi yang demikian untuk
selalu menjaga dirinya tetap ingat kepada Allah SWT. Melakukan ibadah-ibadah
wajib dengan tepat waktu seperti shalat misalnya, tdatang ke tempat kerja
dengan tepat waktu karena kewajiban yang ada jauh lebih banyak daripada waktu
yang tersedia. Orang-orang yang bersyukur tidaklah membuang waktunya dengan sia-sia
berlalu begitu saja. Dengan bersyukur, pribadi akan menjadi disiplin.
0 comments:
Post a Comment