MOSAIK KERUSAKAN BANGSA KITA DAN MARGINALISASI TUHAN

Mosaik Kerusakan Bangsa Kita dan Marginalisasi Tuhan
Karya: Cak Nun
ditulis ulang dari Buku Ikrar Husnul Khatimah Keluarga Besar Bangsa Indonesia Menuju Abad 21


(sumber gambar: google.com)


Kita bisa dengan mudah menemukan krisis bangsa kita ini di bidang apa saja dan di sisi yang manapun juga.

Apakah kita masih perlu saling berdebat tentang krisis, kelemahan dan kebrengsekan manajemen perekonomian negara kita? Tentang rendahnya upaya eksplorasi alam dan bumi kita? Tentang lemahnya kemampuan distribusi barang dan kesejahteraan kaum pribumi kita? Tentang kebodohan berdagang pada penanganan ekonomi makro kita? Tentang nadirnya rata-rata mutu profesionalisme para eksekutif ekonomi dan tenaga-tenaga kerja kita? Tentang mental pengemis, yang menereapkan kepengemisan itu melalui tradisi kolusi; atau menjelmakan mental kepengemisan itu menjadi perampokan lewat korupsi dan pencurian, baik yang tersembunyi di kantor-kantor maupun yang transparan di jalanan-jalanan?

Apakah kita masih perlu saling berdebat tentang krisis moral kita, di mana pemimpin yang bersalah dalam menjalankan kepemimpinannya, sehingga membuat rakyatnya menderita - tidak menjadi sedih hatinya, tidak merasa bersalah, tidak perih perasaannya, tidak takut kepada Tuhannya dan tidak merasa kepada rakyatnya?

Apakah kita masih perlu saling berdebat tentang krisis mental kita, di mana dasar langkah dan sikap seorang awam atau bahkan seorang pemimpin bersifat subyektif, mengacu hanya pada rasa senang atau tak senang, pada pandangan apakah yang disikapinya itu sepihak dengannya atau berpihak pada yang lain? Di mana orang yang sepihak dengan kita atau kita senangi, maka apapun saja yang ia lakukan akan kita benarkan dan kita dukung; sementara orang yang tidak sepihak dengan kita atau yang tidak kita senangi, maka apapun saja yang ia kerjakan akan kita kecam dan kita buang?

Apakah masih perlu kita perdebatkan bahwa krisis moral dan mental semacam itu sesungguhnya adalah juga sekaligus merupakan krisis logika dan krisis rasionalitas? Di mana orang tidak bisa berpikir logis dan rasional, bahwa meskipun yang kita hadapi adalah 'orang besar', tapi kalau ia berbuat salah, maka kesalahannya itu tetap kesalahan, dan tidak menjadi kebenaran hanya karena ia orang besar yang kita dukung dan sepihak dengan kita?

Juga bahwa meskipun kebenaran dan kebaikan itu berasal dari tangan seorang gelandangan yang kumuh maka kebenaran dan kebaikan itu tetap merupakan kebenaran dan kebaikan, serta tidak menjadi gugur hakekatnya sebagai kebenaran dan keadilan hanya karena yang membawanya adalah seorang gelandangan yang kumuh?

Apakah masih perlu kita perdebatkan bahwa krisis ekonomi, politik, budaya, moral, mental, logika dan rasionalitas semacam itu sebenarnya adalah juga sekaligus merupakan krisis nurani, krisis teologi dan spiritualitas? Dan salah satu jari-jemari dari krisis total semacam itu - dengan demikian - adalah juga krisis nasionalisme, krisis patriotisme?

Apakah masih perlu kita perdebatkan bahwa kita adalah bangsa yang mengagung-agungkan Pancasila namun di dalam mengurusi masalah-masalah besar semacam ini kita hampir sama sekali mengabaikan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa?

Bahwa kita adalah bangsa yang mati-matian tidak mau menyebut diri sebagai masyarakat sekuler, namun pada saat yang sama kita mengacuhkan informasi-informasi sistem nilai yang dengan gratis diberikan oleh Tuhan, bahkan memarjinalisasikan-Nya?

Bahwa proses perjuangan reformasi ini Tuhannya bukanlah Allah atau siapapun kita sebut Ia, melainkan nafsu subyektif kita sendiri, kepentingan kelompok kita sendiri, target politik golongan kita sendiri?

Bahwa bangsa Indonesia, bahwa para pemimpinnya yang tidak kunjung mampu mengatasi problem-problem, bahwa kaum pembaharu yang menumbuhkan sehelai bulunya sendiripun tak sanggup, bahwa kaum reformis yang tidak pernah tahu sampai kapan jantungnya akan tetap berdetak itu - menganggap Tuhan tidak layak kita mintai tolong?

0 comments:

Post a Comment

+