(sumber gambar: google.com)
Menarik memang mencermati kebiasaan manusia yang satu ini: klaim. Nah, jika Anda juga tertarik dengan topik 'klaim', ijinkan saya untuk berbagi sudut pandang terlebih dahulu ke Anda. Mari kita simak tautan berikut,
Klaim dalam KBBI sebagai berikut:
klaim n 1 tuntutan pengakuan atas suatu fakta bahwa seseorang berhak (memiliki atau mempunyai) atas sesuatu: pemerintah Indonesia akan mengajukan -- gantu rugi kpd pemilik kapal asing itu; 2 pernyataan tt suatu fakta atau kebenaran sesuatu: ia mengajukan -- bahwa barang-barang elektronik itu miliknya;
meng·klaim v 1 meminta atau menuntut pengakuan atas suatu fakta bahwa seseorang (suatu organisasi, perkumpulan, negara, dsb) berhak memiliki atau mempunyai hak atas sesuatu: ada negara lain yg ~ kepulauan itu; 2 menyatakan suatu fakta atau kebenaran sesuatu: pemerintah baru ~ bahwa tokoh politik itu meninggal krn bunuh diri;
peng·klaim n orang yg mengklaim;
peng·klaim·an n proses, cara, perbuatan mengklaim
Jadi, kalau dipahami secara awam, kita akan bersepakat bahwa klaim adalah tindakan mengaku dari seseorang atas sesuatu hal yang ia rasa berhak miliki.
Klaim cukup merepotkan, bukan? Bagi Anda yang pernah merasakan (betapa repotnya berurusan dengan orang yang suka mengklaim) tentu membuat Anda berharap tak berurusan kembali di masa depan.
Banyak hal yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan berbagai macam klaim. Namun yang jelas, mayoritasnya adalah karena masalah sosial. Saya kira status sosial, lebih tepatnya sosial-ekonomi, menjadikan banyak manusia untuk saling klaim.
Tetangga Anda, bisa jadi mengklaim bahwa anaknya adalah anak yang sholeh dan sholehah daripada yang lainnya dalam lingkungan RT. Tentu dengan berbagai alasan yang mendukungnya.
Banyak sekali contoh klaim dalam kehidupan sekitar kita. Mulai dari yang terkecil di lingkungan keluarga, sampai klaim yang melibatkan perseteruan antar negara. Kasus laut China selatan, misalnya.
Apakah klaim selalu buruk? Saya rasa, ini pertanyaan strategis yang menarik untuk dibuktikan jawabannya. Faktanya, klaim dalam berbagai tingkatan kehidupan masyarakat-negara, selalu menimbulkan konflik yang berujung tindak kekerasan dan hal merugikan lainnya. Belum lagi kalau proses hukum dijalankan. Umumnya memakan waktu yang tak sebentar, biaya yang tak sedikit, dan hasil yang belum tentu memuaskan. Karena, klaim adalah bagian dari penyakit hati (saya kira).
Opini saya, seandainya klaim itu tidak termasuk dalam penyakit hati tentunya berbagai masalah yang ditimbulkannya dapat diatasi secara hukum, lebih baik lagi jika secara kekeluargaan bisa selesai. Namun, karena termasuk dari penyakit hati (saya menduga) maka berbagai bentuk hasil putusan atas klaim selalu menimbulkan efek turunan yang muncul di kemudian hari. Seperti diwariskan.
Apakah bisa seseorang menghindari klaim? Pasti bisa, dengan kesungguhan dan kesadaran diri bahwa kita hanyalah manusia ciptaan Tuhan. Semua yang kita miliki, termasuk pikiran kita, sesungguhnya adalah milik Tuhan YME. Jika sudah sampai pada tahap itu, maka manusia mulai mengerti dan memahami, betapa ia telah banyak melakukan kesalahan dan perbuatan yang sia-sia selama ini.
Klaim dalam dunia riset juga tak kalah maraknya. Pemainnya adalah para intelektual dan pemikir. Peneliti satu mengklaim, bahwa temuannya adalah yang orisinil dan mutakhir. Disisi lain, peneliti lainnya juga mengklaim demikian. Bahkan ada yang sampai mengklaim bahwa klaimnya atas suatu penelitian telah diklaim oleh peneliti lain. Kesemuanya itu, lagi-lagi masalah sosial-ekonomi.
Tentu ini sulit. Apalagi diwilayah agama pun, para pemukanya saling mengklaim sebagai yang paling benar.
Kalau sudah begini, apakah klaim saya tidaklah berlebihan?
0 comments:
Post a Comment