Memperbarui Mindset tentang Energi Terbarukan di Indonesia


Panel Surya di salah satu rumah warga desa di pedalaman Lumajang, Jawa Timur
(sumber: dokumentasi pribadi, 2015)



Ceritanya, setelah belajar dan berdiskusi dengan teman; dosen; praktisi dan juga kawan-kawan baru selama kurang lebih 5 tahun ini, akhirnya saya tiba pada hipotesis awal bahwa permasalahan penerapan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) di Indonesia adalah terletak pada diri kita sendiri. Permasalahan itu ada pada mindset (pola pikir; sudut pandang; cara memahami) kita mengenai EBT. Oleh karena itu, penting bagi saya untuk membedah permasalahan mendasar ini agar bisa menjadi pijakan dan dasar bagi kita (dan saya pada khususnya) untuk tetap percaya bahwa EBT adalah solusi terbaik untuk masa depan kita.

Ini penting karena sejatinya yang perlu diperbaharui itu adalah mindset kita tentang EBT. Aplagi kita hidup di Indonesia dimana Batubara dan Bahan Bakar Minyak (BBM) adalah berkah dan rahmat yang luar biasa besarnya. Tak hanya sebagai negara ke-5 penghasil batubara terbesar dunia [1], kita juga merupakan exporter terbesar dunia. Pemanfaatan batubara sendiri banyak dipakai untuk bahan bakar pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), industri berbasis smelter, industri semen, industri kimia dan sejenisnya. Alasan paling rasional banyak digunakan di PLTU adalah karena  harganya yang murah, mudah didapatkan, dan andal.

Berangkat dari sini, kita sebagai generasi muda tidak boleh naif dan atau bahkan sampai menolak 100% penggunaan Batubara & BBM. Semangat untuk penerapan energi berbasis EBT dalam rangka pengurangan penggunaan Batubara & BBM, itulah yang musti dijaga. Oleh karenanya, yang perlu kita sebarkan sebagai virus kebaikan adalah semangat untuk meningkatkan penggunaan EBT.


Memperbarui Mindset


Sampai akhir 2017, kontribusi EBT dalam porsi bauran energi final Indonesia adalah sebesar 7%. Target pada 2025 adalah 23%. Dan mencapai angka 31% pada 2050 [2, 3]. Kita harus bisa melihatnya sebagai peluang yang menguntungkan, jika tidak maka sulit target tersebut bisa dicapai. Banyak sekali hasil studi menyebutkan: Potensi EBT kita mencapai ribuan Giga Watt (GW). Lagi-lagi kita harus bisa melihatnya sebagai peluang yang sangat menggembirakan, jika tidak maka sulit bagi kita untuk merealisasikannya di lapangan.



Batubara & BBM sendiri cenderung tergantung pada pasar. Harganya fluktuatif. Juga ketersediaannya. Tak jarang kita jumpai kelangkaan BBM terjadi. Juga produksi Batubara yang turun karena harganya yang anjlok, jatuhnya mahal di ongkos produksi bagi pelaku Industri Tambang Batubara. Kita pun sudah berkali-kali menghadapinya, terutama pada tahun 2016 kemarin. Meski tahun ini harga Batubara kembali membara, dan minyak kembali merangkak. 



Saat dua hal itu terjadi, kita sendiri yang bingung. Baik sebagai individu ataupun pelaku industri. Pasokan Batubara & BBM yang tersendat, akhirnya memaksa beberapa industri berhenti yang akibatnya pada meruginya perusahaan. Padahal kondisi ini tidak akan terjadi, atau minimal dapat dihindari, jika penggunaan EBT bisa dimaksimalkan.



Cara pandang kita terhadap EBT, sebaiknya bukan hanya sebatas sebagai energi alternatif dan energi yang dapat diperbaharui – sebagaimana yang kita pahami. Lebih dari itu, EBT adalah continuous energy. Energi yang kontinyu–berlanjut. Tidak ada proses produksi, logistik, warehousing dan limbah yang dihasilkan (kecuali biomassa). Hal ini karena sumber EBT itu ada disekitar kita: Panas Matahari, Angin, Air, Gelombang; Arus; dan Panas Laut, Biomasa, Biofuel, Panas Bumi.



Sebagai pelaku industri, faktor kapasitas adalah alasan selanjutnya – disamping biaya investasi yang mahal – mengapa investasi EBT di pihak swasta kurang bergairah. Perhatikan faktor kapasitas (CF) berikut ini [4].




Gambar 1. Perbandingan faktor kapasitas pada sumber EBT
(sumber: Nuclear Energy Institute, 2013)



Dari gambar diatas, bisa dilihat jika nilai CF tenaga surya, angin, dan air masih dibawah CF Batubara. Ini mindset umum mengapa perancangan dan desain industri EBT kurang diminati . Mindset khususnya: EBT masih mengalami dan lagi mesra-mesranya di tahap riset dan pengembangan (Research and Development). Tentu akan makin proven kedepannya, termasuk CF. Buktinya, laporan terbaru dari Badan Energi Amerika Serikat (US Energy Information Administration) pada tahun 2017 perkembangannya meningkat: CF untuk Nuklir mencapai 99.0%; geothermal 79.8%; biomasa 74.2% hidro 56.6%; angin 44.8%;  solar cell 34.1% [5].
 
Kita pun sering mendengar bahwa investasi EBT sangat mahal. Ada sebuah artikel menarik yang bisa menjadi pandangan baru dalam memahami investasi mahal EBT. Tahun 2015, James Conca yang seorang kontributor majalah Forbes menuliskan tentang nilai keekonomisan dalam hal investasi EBT. Ia mengajukan istilah Energy Returned on Investment atau EROI.  Perhatikan gambar berikut [6]:



Gambar 2. Perbandingan EROI, dengan atau tanpa penyimpanan energy
(sumber: forbes, 2015)




Dari gambar diatas, terlihat bahwa nilai EROI yang sama atau lebih tinggi dari Batubara ada pada panas bumi, air, dan nuklir. Lalu, pertanyaanya apakah EROI yang nilainya dibawah EROI coal tidak menguntungkan? Jawabannya tidak. Karena jika dipahami, nilai EROI kesemuanya bernilai positif dan tentu akan mengembalikan nilai investasi yang sudah dikeluarkan. Tapi perlu dipahami, bahwa nilai EROI selain batubara tentu bisa semakin meningkat seiring dengan perkembangan dan inovasi teknologi EBT. 


EBT Tidak Terjangkau? Tunggu dulu.

Saya kasih perspektif lainnya terkait Memperbarui Mindset Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia. Sebetulnya, semua sudah tahu kalau seharusnya EBT itu bisa lebih murah dan harganya terjangkau. Ini bisa dikarenakan bahan bakunyayang  ada disekitar kita, dan gratis. Tidak perlu proses prduksi, logistik, penyimpanan dan biaya untuk menangani limbah yang dihasilkan. 

Hukum pasar harus berlaku jika ingin EBT bisa murah dan terjangkau.Toh faktanya, di Europe (PLT-Bayu) dan beberapa daerah di USA (PLT-Geothermal) murah & terjangkau. Hanya saja, di Indonesia masih sedikit yang komitmen menerapkan dan mengembangkan EBT. Akan terasa mahal untuk saat ini dan beberapa tahun kedepan, karena kita masih dalam tahap perintisan (kecuali geothermal energy). Berbeda dengan PLTU dengan basis Batubara & BBM yang sudah lama jalan dan teknologinya sudah mutakhir; dan ada di Indonesia. Selain itu, teknologi EBT masih perlu kita mengimpor dari Negara lain, tentu akan mahal dalam implementasinya. Padahal, material pembuatan EBT ada semua di Indonesia.

Jika hasil R&D terkait EBT menemukan puncaknya, pelaku industri berbasis Batubara & BBM pasti akan beralih. Dan saat itu, persaingan yang meriah akan terjadi. Bukan lagi karena energi yang bersih, tetapi lebih dari itu, EBT bisa menguntungkan dan menyenangkan. Ya, EBT lebih menyenangkan.

Bahan baku sudah melimpah. Infrastruktur dan pelaku Industri EBT juga harus ditingkatkan. Pemerintah perlu melakukan transformasi struktural untuk EBT, agar semakin banyak yang menerapkannya.

Perspektif lainnya adalah industri EBT dapat meningkatkan jumlah lapangan kerja lebih banyak ketimbang jenis konvensional. Terutama yang berbasis riset, jika Indonesia bisa mengawalinya dengan baik maka bukan tidak mungkin dimasa depan kita menjadi pemimpin di bidang EBT. Semua jenis EBT ada di Indonesia, ini potensi kita menjadi pemimpin dunia. Sangat berbeda dengan Eropa yang hanya fokus di sumber angin.

Inti dari kesemuanya diatas, sebenarnya EBT lebih banyak kelebihannya daripada kekurangannya. Batubara & BBM dan pelaku industrinya saat ini niscaya pasti akan mengalami fenomena disruption dan creative destructive, jika tak mau melakukan inovasi di bidang EBT. Kita tahu bahwa anak-anak muda kita hebat-hebat. Banyak startup, yang lahir dari tangan mereka, terkait energi yang kesemuanya fokus di pengembangan Hemat Energi dan Energi Baru Terbarukan. Mereka dan pelaku industri EBT lain pasti dapat mempercepat porsi bauran EBT Indonesia. Inovasi yang lebih baik, murah, dan andal pasti akan ditemukan. Saat itu, energi kita dapat terjangkau. Hukum pasarnya begitu: harus berlebih. Saat banyak pelaku EBT dan jumlahnya berlebih, saat itu energi benar-benar bisa murah. 

Saat ini, kita mudah menemukan lampu Penerangan Jalan Umum (PJU) dengan solar-cell di jalanan.  Juga rumah-rumah di pedesaan, kantor, mall, dan instansi pemerintah. Kita harus apresiasi imbauan dan bantuan pemerintah dalam hal ini. Itu adalah program pemerintah yang musti diapresiasi. Semoga makin ditingkatkan. Sementara itu, kita semakin melek bahwa EBT bukan hanya sebatas mengenai energi yang bersih dan ramah lingkungan.




Referensi:



1. World Energy Council. 2016. Top Coal Producing Countries. London: https://www.worldenergy.org/data/resources/resource/coal/ diakses pada 17 Agustus 2017 pukul 16:35 WIB

2. Dewan Energi Nasional. 2015. Buku Outlook Energi Indonesia. Jakarta: Dewan Energi Nasional

3. Kementerian ESDM. 2016. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2016-2025. Jakarta: https://djk.esdm.go.id diakses pada 17 Agustus 2017 pukul 16:45 WIB

4. US Nuclear Power Plant Statistic. 2013. Capacity Factors by Fuel Type. US: Nuclear Energy Institute

5. US Energy Information Administration, 2017. Electric Power Monthly with Data for May 2017, Washington DC: U.S. Department of Energy
6. Conca, J. 2015. EROI: A Tool to Predict the Best Energy Mix. Forbes: https://www.forbes.com/sites/jamesconca/2015/02/11/eroi-a-tool-to-predict-the-best-energy-mix/ diakses pada 17 Agustus 2017 pukul 17:00 WIB
 



4 comments: Leave Your Comments

  1. Keren ka. Iya ya, memang pola pikir kita itu yang musti diperbarui. Aku setuju sama pandangan kaka. Thanks for sharing. Pandangannya bagus dan mudah dipahami. ✊

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehe, makasih sudah mampir dan komen positifnya.. Sukses terus untuk bisnismu ya.. Salam.

      Delete
  2. Nice sharing....

    note sedikit:
    capaian EBT versi capaian semester I 2017 KESDM hanya 7% dari bauran energi nasional, artinya PR nya adalah percepatan.... tapi bila dipercepat, mungkin auction (hukum pasar) tidak akan dipilih....

    Nah gimana dong?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih atas koreksinya.

      Saya kurang kroscek. Karena angkanya 6%, 17%, 22.5%, dan 31%. Terimakasih atas koreksinya.

      Terkait pertanyaan tersebut, yang ditanya tidak sebisa yang bertanya.. hehe. Insya Allah ntar ketemu jawabannya di tulisan selanjutnya.

      Salam.

      Delete

+