Kondisi, Fakta dan Permasalahan Energi Terbarukan


Turbin Arus Laut
Sumber gambar: Puslitbang Geologi ESDM


  
Pendahuluan

Indonesia bukanlah negara yang baru kemarin sore mengenal Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Sejarah telah mencatat bahwa upaya pencarian energi panas bumi sudah dimulai sejak awal tahun 1900-an, sampai lima sumur eksplorasi dibor pada tahun 1926-1929. Satu sumur masih memproduksi uap panas kering hingga saat ini [1]. Bahkan pemanfaatan EBT kategori biomasa berupa kayu sudah dikenal sebelumnya sebagai bahan bakar.

Perjalanan kita sebagai bangsa modern pun semakin mantap. Hal itu dapat ditandai dengan perhatian terhadap energi yang bersih dan ramah lingkungan sudah mulai menunjukkan panggungnya. Meski jam terbang EBT dalam praktek dan kontribusi di lapangan masih tergolong rendah.

Sebelum lebih jauh ke inti tulisan, penulis sangat merekomendasikan pengunjung blog ini untuk membaca tulisan sebelumnya yang berjudul Memperbarui Mindset tentang Energi Baru dan Terbarukan (EBT) di Indonesia. Ini penting dan mendasar karena penulis sudah menetapkan kerangka tulisan dan judul yang sistematis selama 15 hari depan. Dan tiga hari pertama adalah basis untuk memulainya, menjadi dasaran dan penguatan untuk melompat dan melangkah di tahap selanjutnya.

Tulisan kali ini bertujuan untuk memberikan gambaran umum mengenai kondisi kekinian seputar penerapan dan perkembangan EBT di Indonesia beserta informasi mengenai fakta dan permasalahan yang mengikutinya. Diharapkan dari tulisan ini muncul perspektif baru untuk kembali menguatkan langkah kita agar tetap optimis dan yakin bahwa EBT di Indonesia akan menemukan masa jayanya.


Kondisi, Fakta dan Permasalahan



Berikut ini merupakan beberapa hal yang penulis tangkap mengenai kondisi, fakta dan permasalahan EBT di Indonesia saat ini; antara lain,



1.   Tinjauan Regulasi

Awal tahun 2017 lalu, pemerintah mengeluarkan kebijakan terkait Energi Terbarukan yakni dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ESDM RI Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Dalam aturan ini, ditetapkan harga pembelian tenaga listrik berbasis EBT maksimal sebesar 85% dari Biaya Pokok Produksi (BPP) Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan PLN setempat [2]. Hal ini tentu menuai protes dari pelaku usaha disektor kelistrikan. Alasannya sederhana: ketentuan tarif dalam aturan ini nilainya lebih rendah dari ketentuan sebelumnya. Harganya tidak menarik. Bahkan Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI), Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, dan Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) meminta telah Menteri ESDM Ignaisus Jonan merevisi Permen ESDM No. 12/2017 dan telah mengirimkan surat keberatan kepada Presiden [3].



Revisi aturan yang dikeluarkan pun tidak mengubah besaran biaya pembelian sebagaimana dalam Permen ESDM RI Nomor 43 Tahun 2017 yang merevisi Permen ESDM RI Nomor 12 Tahun 2017 diatas [4]. Pihak swasta tentu yang kurang diuntungkan dalam hal ini, meski tujuan pemerintah sebenarnya baik yakni agar tarif listrik lebih kompetitif dan efiesien dalam teknologinya. Namun hal ini berakibat pada pengembang EBT swasta yang memberhentikan proyek EBT – yang dirasa tidak menguntungkan.
  

 Gambar 1. Infografis Permen ESDM No. 12 Tahun 2017
(sumber: ESDM RI, 2017)

 Hal seperti diatas menjadi dilematis ketika pengembang EBT ingin tidak rugi, sementara pemerintah ingin agar tarif listrik lebih kompetitif dan efisien meski dengan bahan baku fosil (Batubara & BBM). Jangankan pihak swasta yang sudah invest cukup besar, penulis pribadi & tim yang passion dan ingin terjun di bidang EBT pun menjadi sedikit gelisah setelah membacanya. Pun di grup whatsapp seputar RE yang penulis ikuti. Sejauh ini, pengembangan EBT di Indonesia memang mendapatkan subsidi dalam prakteknya. Maka, target 23% penggunaan EBT dalam porsi bauran energi final Indonesia pada tahun 2025 rasanya akan sulit untuk tercapai dengan diberlakukannya aturan diatas.

2.   Tinjauan Besaran Investasi dan Pendanaan

Sebagai pengusaha dan pelaku industri, apa yang kita investasikan harus bisa bernilai positif dan menguntungkan. Jika tidak, maka investasi yang kita lakukan adalah sebuah kesalahan. Tentu kita semua tidak mau. Termasuk dalam bidang EBT.

Harga minyak bumi yang masih dibawah 60 USD per barrel tentu masih sangat menggairahkan bagi pelaku industri yang berbahan baku tersebut. Lebih murah dan sudah teruji andal. Teknologinya pun sudah dikuasai.
Penulis mencatat, jenis energi terbarukan saat ini di Indonesia yang cukup baik dalam pelaksanaannya adalah pada jenis EBT panas bumi dan biomassa. Panas Bumi sudah menjadi kewajiban PT Pertamina untuk mengelolanya sebagai aset Negara, sementara biomassa banyak yang merupakan investasi pihak swasta. Keduanya, dari segi teknologi sudah baik dan kemampuan untuk mencetak Energy-ROI terbilang sangat baik (lihat kembali tulisan tentang Memperbarui Mindset tentang Energi Baru dan Terbarukan (EBT) di Indonesia).

Dalam sebuah portal berita online, Detik.com, disebutkan bahwa salah satu dari masalah utama EBT di Indonesia adalah terkait pendanaan, disamping permasalahan pada teknologi dan ketersediaan bahan baku. Hal itu disampaikan oleh Satrio Astungkoro yang menjabat Dirut PT Energy Biomassa Indonesia sebagai salah satu anak usaha PT EMI yang merupakan BUMN Indonesia di bidang Konservasi dan Konversi Energi Baru Terbarukan [5].

Apakah benar demikian?

Beberapa perusahaan yang menerapkan teknologi biomasa seperti Growth Steel Group(GSG) dengan ke-10 PLTU (baik yang sudah operasi maupun belum), ternyata menunjukkan kinerja yang cukup bagus. Dengan lokasi yang strategis, GSG berhasil membangun banyak PLTU berbasis biomassa dengan bahan baku utama dari limbah kelapa sawit (cangkang sawit). Listrik dari PLTU GSG bahkan dijual ke PLN. Ini tentu menunjukkan bahwa penerapan dan bisnis EBT di Indonesia sangat menguntungkan. Perhatikan persebaran PLTU Biomassa GSG berikut ini, 

 Gambar 2. Persebaran PLTBm GSG
(sumber: arsip pribadi – diolah dari berbagai sumber)

 Perspektif yang lainnya dalam menjawab masalah besaran investasi dan pendanaan, kita dapat menemukan fakta bahwa ternyata penerapan EBT di luar negeri lebih banyak yang merupakan hasil investasi perusahaan multinasional dan juga pinjaman dari Bank Dunia yang komitmen terhadap energy ramah lingkungan.

Di Negara Maroko yang ada di gurun sahara, Raja Mohammed VI membuat kompleks tenaga surya terbesar di dunia. Proyek itu dikenal dengan Noor Project. Besaran investasinya pun tak tanggung-tanggung, kira-kira jika ditotal mencapai angka 9 milyar USD. Angka yang sangat besar. Namun, Raja Mohammed VI tampaknya berhasil menarik investor global untuk turut berinvestasi dalam pengembangan proyek tersebut hingga proyek Noor I berhasil berjalan dengan baik sampai saat ini [5,6].



Sebenarnya, banyak praktisi energi dan pakar ekonomi yang menilai bahwa ROI di bidang EBT angkanya cukup positif. Namun, sepertinya itu tidak cukup bagi pelaku industri EBT jika tidak bisa mencetak laba yang menguntungkan. Disini, pemerintah perlu untuk mendorong dan bekerjasama untuk secara bersama-sama komitment menjalankan dan merealisasikan EBT, karena investasi yang besar hanyalah salah satu alasan didepan yang belum banyak dibuktikan dengan kegagalan dan kebangkrutan di lapangan. Selain itu, pemerintah perlu inisiatif lebih untuk menarik investor global untuk masuk dan invest di Indonesia. Potensi EBT kita luar biasa beragam.


3.   Tinjauan Teknologi dan Tenaga Ahli



Penerapan EBT di Indonesia sering dikaitkan dengan masalah teknologinya itu sendiri. Padahal, teknologi EBT yang berbasis panas bumi, biomasa, dan hidro sudah terbukti cukup proven dan kita mampu menguasainya. Sehingga, alasan dari sisi teknologi bahwa kita masih ketinggalan rasanya juga belum bisa disepakati. Fakta di lapangan, banyak senior kita seperti Ibu Tri Mumpuni dan Bapak Sucipto di Lumajang yang sudah terbukti berhasil membuat PLTMH (Mikro Hidro) dengan tenaga ahli yang direkrut dari orang-orang sekitarnya. Ini mengindikasikan bahwa kita sudah mumpuni dalam hal teknologi EBT berbasis mikro hidro. Keduanya pun sudah banyak menerapkan dan menjalankan PLTMH-nya di berbagai wilayah di Indonesia.



Permasalahannya ada pada EBT berbasis tenaga nuklir, angin, CBM, tenaga surya, dan arus laut yang memang kita masih jauh ketinggalan. Infrastruktur untuk Litbang kita harus diakui masih kurang dan belum cukup untuk melakukan terobosan di bidang tersebut. Namun bukan berarti kita sama sekali tidak bisa. Sudah banyak hasil prototype dari BPPT terkait PLT-Arus Laut yang didemonstrasikan meski belum menggembirakan dan memuaskan hasilnya.

4.   Tinjauan Utilitas dan Penyimpanan



Indonesia bagian timur kaya akan potensi EBT berbasis tenaga surya, angin dan arus laut. Disamping itu, Indonesia bagian timur rasio elektrifikasinya pun belum baik dan masih sering kita jumpai pemadaman listrik berkali-kali terjadi. Di banyak kepulauan kecil pun sama sekali tak ada listrik. Mayoritas listrik didapatkan dengan tenaga diesel yang mana membutuhkan bahan bakar berupa minyak bumi.



Bantuan dari pemerintah berupa panel surya dan lampu tenaga surya memang cukup membantu penerangan saat malam hari, namun tidak untuk kebutuhan listrik sehari-hari. Maka, solusi atas kondisi seperti ini adalah dilakukannya langkah hybrid. Malam pakai panel surya, siangnya pakai diesel.



Kondisi Indonesia Timur yang didominasi kepulauan pun menjadi masalah ketika dihadapakan pada soal utilitas energi jika menggunakan PLTU, meskipun berbahan bakar batubara. Akan mahal dalam penyalurannya. Dilain pihak, potensi EBT yang terbesar di Indonesia Timur ada pada ketiga jenis EBT di atas. Dan ketiganya masih belum kita kuasai; faktor kapasitasnya pun kecil sekali.


Penutup

            Dalam banyak kasus di lapangan, penerapan EBT di Indonesia masih digolongkan kecil dimana pemanfaatan EBT yang terbanyak hanya pada tenaga panas bumi, biomasa dan hidro. Apalagi setelah dikeluarkannya aturan tarif pembelian tenaga listrik berbasis EBT yang dinilai pengusaha kurang menarik. Untuk saat ini, fokus pemerintah memang untuk mencapai target elektrifikasi meskipun berbahan bakar fosil. Disatu sisi ini baik untuk saudara kita yang belum merasakan listrik, namun disisi lain kita yang akan semakin tertinggal dan terlambat menyusul. Upaya pemerintah untuk tetap mendorong minat swasta dan akademisi harus terus ditingkatkan.

            Kita pun tahu, saat ini persaingan industri otomotif global sudah mengarah pada produksi dan penggunaan mobil tenaga listrik. Tesla Motors pun dengan sangat cepat menunjukkan kelas dan kualitasnya. China juga sudah makin mantap dalam teknologi mobil listrik nasionalnya.     

Disisi lain, PLT-Bayu yang cukup proven ada di Eropa dan Amerika, dengan Eropa sebagai pemimpin. Sementara untuk arus laut masih dalam tahap riset secara global. Indonesia harus bisa melihat potensi dan peluang ini, nyatanya menurutbanyak hasil studi disebutkan bahwa potensi arus laut kita mencapai ribuan GW dan belum termanfaatkan sama sekali. Padahal energi arus laut ini cukup berdampak apabila berhasil diterapkan, karena selain meningkatkan aktivitas perekonomian nelayan dan masyarakat pesisir di kepulauan kecil, juga dapat diaplikasikan sebagai potensi wisata bahari yang ramah lingkungan mengingat surganya wisata bahari Indonesia ada di Indonesia bagian timur.

__________

Referensi:

[1]     Riwayat Panas Bumi di Kamojang. 2014. http://geologi.esdm.go.id/ diakses pada 18 Agustus 2017 pukul 15:34
[2]   Peraturan Menteri ESDM RI Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Jakarta: www.esdm.go.id/
[3]     Pelaku Usaha Kompak Menolak. Jakarta: http://bisnis.com/ diakses pada 18 Agustus 2017 pukul 15.44
[4]   Peraturan Menteri ESDM RI Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Jakarta: www.esdm.go.id/
[5]    Maroko Membuat Kompleks Tenaga Surya Terbesar di Dunia. 2016. http://nationalgeographic.co.id diakses pada 18 Agustus 2017 pukul 18:46
[6]    Maroko Bangun Pembangkit Listrik Tenaga Raksasa. 2016. http://www.bbc.com diakses pada 18 Agustus 2018 pukul 18:48




1 comment: Leave Your Comments

+