Detak jam dinding terdengar cukup jelas di ruangan yang hanya berukuran 12 meter persegi dengan cat tembok warna orange cerah itu. Sekarang jam 01:15 malam. Ardi masih sibuk dengan laptopnya. Secangkir kopi hitam dan terdengar sayup lagu-lagu Peterpan menemaninya malam ini. Ia bukan sedang sibuk bermain game, apalagi bermain media sosial. Tidak. Ardi adalah seorang sarjana teknik dari salah satu kampus terbaik di negeri ini - ITS Surabaya. Sudah dua tahun ia lulus dari kampusnya. Predikatnya: cumlaude. Bahkan sempat mendapatkan penghargaan sebagai lulusan terbaik di jurusannya.
Ia masih sibuk dengan laptopnya. Meski wajahnya tampak kelelahan.
***
"Halo, bro. Sekarang kerja dimana?", tanya Nazriel pada Ardi. Mereka bertemu di suatu acara kondangan teman SMA. Nazriel adalah kawan dekat Ardi semasa SMA. Berbeda dengan Ardi, Nazriel adalah mahasiswa yang rajin dan pintar. Ia lulusan UGM. Seorang sarjana ekonomi.
Ardi berhasil cumlaude dari jurusannya hanya karena ia menjadi penurut sistem pendidikan dan tak lebih. Sementara penghargaan sebagai lulusan terbaik di jurusannya hanya karena ia kebetulan cumlaude dan sering mengikuti kegiatan bertaraf nasional dan internasional, meski nyatanya hanyalah kegiatan jalan-jalan dan main-main saja dari penatnya kampus yang mulai membangun sistem-sistem laiknya korporasi.
"Disini aja, bro", jawab Ardi singkat. Mereka berdua adalah putra asli Lumajang.
"Kenalin nih, calon saya. Masih ingat, nggak?", sambung Nazriel.
Namanya Rianti. Ardi tentu saja masih mengingatnya. Rianti adalah sosok perempuan yang pernah ia sukai secara diam-diam saat masih SMA. Ia cantik, manis, ceria, dan hangat. Tingginya sekitar 163 cm. Pribadinya pun baik. Rianti sering mewakili SMA saat ada ajang lomba tingkat kabupaten sampai nasional. Tentu tak akan kalah dengan Maudy Ayunda.
Perasaan itu masih ada. Perasaan itu masih kuat. Perasaan suka.
Ardi tampak kaget dan terlihat salah tingkah. Ia tak menyangka kalau perempuan yang ia sukai, sekarang sudah menjadi calon istri teman dekatnya. Perasaan Ardi saat ini ibarat kemarau yang mengharapkan hujan, yang didapatkan malah kebakaran. Sudah lama hati Ardi kering oleh cinta dan kasih dari teman sebayanya. Ardi adalah tipe siswa dan mahasiswa yang patuh pada orang tuanya. Ia tak boleh pacaran selama masih sekolah, maka ia tak melakukannya. Ia menjaga jarak terhadap setiap lawan jenisnya.
"Halo, Mas Ardi. Apa kabar sekarang?", tanya Rianti lembut sambil tersenyum manis dan menjabat tangan Ardi. Umur mereka memang berbeda 1.5 tahun. Rianti mulai sekolah lebih cepat atau mungkin Ardi memulai sekolahnya yang terlalu lambat.
Entah kenapa, Ardi tampak canggung dan tanpa sadar ia terpesona dengan sosok Rianti yang makin cantik.
***
Ini hari pertama Ardi kuliah. Sebagai mahasiswa baru, ia tak tampak seperti kebanyakan mahasiswa baru lainnya. Baju yang dipakai, tas, sepatu dan sejenisnya masihlah sama seperti saat ia bersekolah di SMA. Ardi memang berasal dari keluarga yang sederhana. Ia tak ada waktu dan memang tak mampu untuk bergaya lebih. Lagi pula, itu bukan sifatnya. Ardi adalah orang yang memegang teguh prinsipnya bahwa hidup itu harus diperjuangkan. Meski ia sadar, terkadang keberuntungan juga berpengaruh.
Ardi kuliah di kampus teknik. Ia sangat menyukai kimia. Oleh karenanya, ia memilih Teknik Kimia sebagai opsi pendidikan tinggi yang bakal ditempuh. Ia sudah menargetkan akan lulus dalam 4 tahun. Tidak lebih. Juga tidak kurang. Dan masih banyak lagi target yang ia catat di buku saku miliknya. Ardi sudah terbiasa untuk membuat catatan dan rencana harian semenjak SMP.
***
Dalam mata kuliah Pengantar Teknik Kimia, Ardi mendapati dosen pengampu menyatakan bahwa kita semakin mengalami kemajuan peradaban, dan Teknik Kimia merupakan salah satu disiplin keilmuan yang sangat berperan penting. Ia memberi contoh bahwa setiap industri yang ada, pasti membutuhkan engineer lulusan Teknik Kimia. Apalagi di bidang Minyak dan Gas Bumi.
Ardi tak setuju dengan pernyataan itu. Ardi menyela dan menyampaikan gagasannya di kelas yang berisi kurang lebih 60-an mahasiswa.
"Izin menyela, Pak. Saya Ardi, NRP 2310100033 ijin menyanggah pernyataan Bapak. Menurut saya, kita sedang tidak mengalami kemajuan peradaban. Minyak dan Gas Bumi hanyalah penyela dan energi alternatif dalam beberapa masa ke depan. Sebetulnya, air, angin dan cahaya matahari itulah energi primer kita."
"Mengapa kau bilang begitu, Ardi?", tanya dosen.
"Kita selalu saja mengatakan bahwa Minyak dan Gas Bumi adalah sumber energi primer manusia. Dan menganggap bahwa air, angin, dan cahaya matahari sebagai energi alternatif. Seolah-olah, bahwa jika tidak ada Minyak dan Gas Bumi maka kehidupan kita akan berhenti? Saya tidak sepakat dengan bentuk hegemoni seperti ini," jawab Ardi tegas.
Sang dosen mengernyitkan dahinya.
***
Hari-hari ini Ardi mulai sering sibuk di luar kampus. Ardi memimpin sebuah organisasi ekstra kampus. Ia aktivis sosial.
Sayangnya, Ardi kurang dekat dalam berteman dengan sesama teman angkatannya di kampus. Ardi memang bukan tipikal orang yang suka berdiam diri. Apalagi status quo. Di salah satu buku sakunya tercatat bahwa ia sangat ingin berkeliling dunia, mengenal banyak orang, dan belajar berbagai hal di lapangan. Ia tertarik menjadi masyarakat global dengan segala persoalannya.
***
"Apa aku masih boleh mencintanya, Tuhan?", keluh Ardi menjelang tidur di suatu malam. Ardi tampak gelisah beberapa hari ini. Ia merasa banyak mengalami kegagalan dan beban yang berat. Ia butuh dorongan dan motivasi dari orang lain. Dari sahabat dekatnya. Atau mungkin lebih dari sekadar sahabat.
***
Adakah yang lebih luas dari semesta?
Adakah yang lebih dalam dari palung samudra?
Adakah yang lebih ikhlas dari kasih seorang guru?
Cintaku kepada Rianti jauh lebih luas dari semesta
Sayangku kepada Rianti jauh lebih dalam dari palung samudra sekalipun
Kasihku kepada Rianti jauh lebih ikhlas dari pada kasih seorang guru
Aku merindukanmu
Rianti
***
"Ardi, bagaimana dengan persiapan aksi minggu depan? Kau yakin apa yang telah kita rapatkan akan berjalan dengan baik?", tanya Said yang merupakan wakil Ardi di organisasinya.
"Aku masih ragu. Tapi kita harus tetap bergerak dan mengeksekusinya sebaik mungkin", jawab Ardi.
Aksi minggu depan memang terasa berbeda dengan aksi-aksi yang pernah Ardi ikuti. Bagaimana tidak, puluhan rumah terancam digusur oleh Pemerintah Kota setempat. Ardi dan kawan-kawannya sudah melakukan berbagai cara mediasi untuk mencari solusi terbaik, tapi Pemkot keukeuh untuk tetap menggusurnya minggu depan.
(Seminggu kemudian)
"Kita disini bukan untuk menjadi pahlawan, kawan-kawan. Bagaimana mungkin, tanah yang sudah puluhan tahun dijadikan tempat tinggal dan istirahat saudara-saudara kita ini harus digusur hanya karena kesalahan orang tua mereka yang tidak mengurus sertifikat tanah? Bukankah negara ada karena rakyat ada?", seru Ardi didepan ratusan massa aksi.
Menurut informasi yang berkembang, tanah ini akan menjadi wilayah perluasan dari salah satu pengembang properti terkenal di Surabaya. Ya, disamping perumahan warga yang akan digusur ini berdiri megah dan mewah perumahan dan apartemen. Entah kenapa, pemerintah justru lebih berpihak kepada pengembang daripada rakyatnya sendiri yang sudah jauh lebih dulu menguasai tempat ini, bahkan sebelum negara ini bernama Indonesia.
***
[Draft]
0 comments:
Post a Comment