Keahlian (skill) memang perlu dipertimbangkan saat memilih seseorang untuk kita terima atau tidak dalam mengisi kekosongan posisi di perusahaan kita.
Rekruter dalam proses wawancaranya seringkali mempertimbangkan macam-macam keahlian yang dimiliki oleh pelamar. Dengan membaca dan mengkonfirmasi dari CV atau resume yang ada di mejanya. Meski ada yang berhasil terimplementasi dengan baik saat diterima dan bekerja, namun kenyataan bahwa tak sedikit kasus yang terjadi ternyata karyawan tersebut menjadi kurang adaptif terhadap perubahan zaman. Itulah salah satu alasan mengapa meski kinerja karyawan kita bisa dikatakan baik, namun secara kolektif perusahaan ternyata sulit mencapai performa yang memuaskan.
Semua bekerja sebagaimana mestinya, tidak melakukan kesalahan sedikitpun, namun tiba-tiba perusahaan kalah. Bangkrut. Dan akhirnya bubar. Ironis.
Mari kita belajar ke Tiongkok.
Beberapa tahun lalu, saya bertemu dengan seorang saudara yang bekerja di Tiongkok. Dia bercerita bahwa banyak rekruter di Tiongkok, tidak terlalu memperhatikan keahlian (hardskill) sebagai syarat wajib untuk diterima. Pemikiran disana sangat sederhana. Mengingat banyaknya jumlah manusia dan tenaga kerja, dan tentu saja ada kontribusi dari pemerintah, namun kesederhanaan dalam menerima tenaga kerja di Tiongkok patut untuk direnungkan, setidaknya bagi kita yang tertarik terhadap alasan mengapa industri di Tiongkok sangat kompetitif & produktif.
Contohnya adalah launching produk terbaru Apple: Iphone 12. Perusahaan yang memproduksi tersebut berada di Tiongkok, dibawah bendera Foxconn yang berpusat di Taiwan. Perusahaan ini sedang melakukan rekrutmen besar-besaran untuk memenuhi permintaan yang ada: dibutuhkan 250.000 orang. Dengan target penerimaan: 2000 orang per hari. Saya tentu tak bisa membayangkan bagaimana perusahaan yang memproduksi barang paling inovatif di dunia ini proses rekrutmen karyawannya bisa sangat sederhana. Dengan jumlah per hari yang banyak itu.
Sangat berbeda dengan kebanyakan kasus di Indonesia.
Di Tiongkok, juga India, mereka berfokus kepada Visi dan Misi perusahaan. Ini melekat dan menjadi harga mati bagi para eksekutif korporasi. Sementara di Indonesia, Visi dan Misi kebanyakan hanya sebagai hitam diatas putih dan masih bisa ditawar. Tentu ini pendapat pribadi saya. Dan sangat subjektif. Anda bisa mendebatnya. Namun kenyataan bahwa perusahaan kecil di Tiongkok bisa mendapatkan dan mengerjakan proyek besar di luar Tiongkok juga tidak boleh kita abaikan.
Ada jokes terkenal begini:
Ada orang mendaftar menjadi tentara kemudian mengikuti beragam tes seleksi dan singkat ceritanya orang ini dinyatakan tidak lolos tes karena giginya ompong. Orang ini kemudian menanyakan ke bagian penerimaan (rekruter): "Sebenarnya orang masuk tentara itu untuk berperang atau untuk baku gigit?"
Anda tentu pernah mendengar jokes tersebut. Menurut penulis, jokes ini juga sering terjadi dalam proses penerimaan angkatan kerja baru dalam kenyataannya. Mungkin itulah salah satu alasan mengapa perusahaan-perusahaan di Indonesia sulit sekali untuk bersaing di kelas regional, apalagi ditingkat internasional. Akhirnya, kebanyakan karyawan perusahaan yang ada hanya melakukan repetisi-repetisi tanpa dirasa ia masuk usia pensiun. Tidak memberikan dampak signifikan dan revolusioner bagi transformasi korporasi.
Inilah kekurangan kita yang masih menganggap bahwa good looking dan good resume adalah kunci penerimaan. Pihak yang disewa perusahaan untuk melakukan rekrutmen juga seringkali adalah orang-orang office yang pengalaman mayoritasnya adalah bekerja dalam ruangan ber-AC. Tentu mereka bisa membayangkan, namun bayangan itu seringkali subjektif dan tidak tepat.
Saya pribadi menyarankan kepada seluruh manajer terutama bagian sumber daya manusia (Human Capital) untuk perlunya melakukan analisa dari proses rekrutmen sampai evaluasi tahunan. Apabila hal-hal yang menjadi komitmen selama proses rekrutmen tidak terimplementasi setelah beberapa tahun bekerja, maka jenis karyawan seperti ini perlu dipertimbangkan untuk dievaluasi. Jadi, evaluasi disini bukan hanya selama ia bekerja namun melihat lebih luas apa yang menjadi komitmen awal dari karyawan tersebut. Apakah ia akan dipertahankan, atau diberhentikan. Namun sikap seperti ini tidak akan terjadi di jenis perusahaan yang merasa cukup. Konsep ini hanya bisa terjadi jika perusahaan menjadikan Visi dan Misi Perusahaan sebagai harga mati yang harus dicapai.
Kebanyakan tenaga kerja kita dalam kondisi untuk mempertahankan posisinya. Terkadang kesepakatan-kesepakatan gelap dilakukan hanya untuk terlihat perform dan bagus di atas kertas. Saya katakan jika kondisi karyawan seperti itu maka perusahaan Anda sebenarnya sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja. Tenaga kerja yang cari aman dan ingin mempertahankan posisinya, akan sulit memberikan idea-idea dan kontribusi signifikan bagi keberlanjutan perusahaan. Bukankah semua hal yang kita lihat dan rasakan adalah hasil dari idea-idea?
Sepertinya sedang di lingkungan korporasi ini, piye kabare? Nang endi saiki?
ReplyDelete