Tidak Penting Apa Keahlianmu untuk Bekerja: Bagian 2


Pada Bagian 1 saya memberi contoh dan ajakan untuk belajar ke Tiongkok. Saya tidak kilau sama sekali dengan Tiongkok. Namun, mencontoh Tiongkok dalam hal-hal baik bukanlah hal buruk. Meskipun yang berhasil di mereka belum tentu berhasil di kita. Namun ada satu hal yang ingin saya bagikan kepada teman-teman pembaca sekalian bahwa kita harus insyaf jika kita ingin maju, dan disiplin adalah kuncinya. 

Pada Bagian 1 juga telah disampaikan pandangan saya bahwa perusahaan dengan resources yang baik dan terampil tidaklah cukup, karena bisa kalah dan bubar. Perlu adanya strong willingness dan vision believing.

Pada Bagian 2 ini, saya ingin berbagi cerita mengenai sebuah perusahaan manufaktur milik swasta yang memproduksi alat elektronik terkemuka di Indonesia. Persaingan dalam industri sejenis sangatlah ketat. Merek lama maupun merek baru nyaris tak ada bedanya dalam hal kualitas hasil produksi dan tidak jauh berbeda dalam hal harga. Kita tahu bahwa faktor produksi seperti labour cost dan faktor supply chain yang merupakan dua dari tiga elemen penting dalam operasional perusahaan, saat ini sangat mudah untuk didapat dan juga murah harganya.

Saat banyak perusahaan menanggapi perubahan zaman yang makin kompetitif ini dengan merekrut calon karyawan yang terbaik dari kampus-kampus atau sumber tenaga kerja lainnya, sebagian kecil perusahaan justru tidak ambil pusing dalam proses input sumber daya manusia ini. Perusahaan ini, umumnya melakukan rekrutmen dengan sangat sederhana. Syaratnya hanya memperhatikan umur, pernah bekerja di pabrik, dan disiplin. Setelah proses wawancara dan tandatangan kontrak, biasanya mereka akan diminta untuk langsung bekerja dilapangan. Tanpa proses ini dan proses itu. Tanpa basa-basi.

Tentu orang luar yang melihatnya akan berpikir dan menganggapnya sebagai tidak berperikemanusiaan. 

Namun faktanya, perusahaan yang menerapkan kesederhanaan dan disiplin ini justru terus bertumbuh.

Organisasi yang kecil memang mudah diajak untuk bergerak. Tentu berlaku juga dalam skala perusahaan yang dimaksud dalam contoh. Rekrutmen-rekrutmen sederhana ini hanya terjadi di level perusahaan menengah ke bawah. Yang terbatas anggaran, waktu, dan sumber daya lainnya. Oleh karenanya, perusahaan-perusahaan kecil ini sangat gesit sekali dalam operasionalnya.

Hingga tak terasa, perusahaan-perusahaan kecil ini mengambil alih kue pemasaran dari para perusahaan-perusahaan besar. Tanpa disadari. Atau mungkin disadari, hanya saja diremehkan di awal.

Perusahaan-perusahaan kecil ini biasanya berpijak pada para perusahaan besar. Entah dijadikan sebagai pijakan knowledge maupun pijakan dalam bentuk strategic partnership. 

If you can learn to stand on the shoulders of giants, you can get bigger, faster. (Isaac Newton, 1676)
Tentu strategi ini dengan mengesampingkan manajemen sumber daya manusia di perusahaan-perusahaan besar.

Perusahaan-perusahaan kecil ini melihat tenaga kerja tidak sebagai aset. Mereka memposisikan tenaga kerja sebagai orang yang memiliki akal dan kemauan untuk terus produktif dan menimbulkan benefit bagi perusahaan. Hal ini tentu berbeda dengan budaya di perusahaan besar dan state-own enterprises yang mana memposisikan tenaga kerjanya sebagai aset. Dampak dari sikap perusahaan kecil tersebut, jika terjadi kekosongan posisi maka ia akan cepat mendapatkan pengganti. Meski tidak ada proses suksesi (succession planning) dalam budaya perusahaannya. Ya karena itu tadi, mereka melihat tenaga kerja sebagai bukan aset yang harus dijaga oleh perusahaan. 

Memang terkesan sadis, bukan?

0 comments:

Post a Comment

+