Konsep Leadership dalam Situasi Krisis: Studi Kasus Pandemi Covid-19 di Indonesia

Pendahuluan



Covid-19 menjadi satu problem terkompleks yang dihadapi semua negara. Untuk saat ini. Setidaknya untuk para kepala negara dan kepala pemerintahan.

Hampir semua negara mengalihkan fokus utamanya kepada pandemi yang sedang terjadi. Tatanan peradaban yang sedang dibangun; pendidikan, kebudayaan, sosial-ekonomi, dan lain sejenisnya; menjadi terganggu oleh 'serangan' dari materi kecil nan meluas dari novel coronavirus yang pertama kali terjadi di pusat ekonomi baru dunia: Tiongkok.

Dua hari lalu tepatnya 8 April 2020 President Xi Jinping resmi mencabut status lockdown dari Kota Wuhan di Provinsi Hubei. Ini adalah kota terakhir yang dibuka dan paling lama menjalani lockdown: sekitar 76 hari.

Saat ini, Pemerintahan Tiongkok sedang fokus untuk mengembalikan tatanan ekonomi yang selama tiga bulan sangat terdampak. Aktifitas ekonomi pun mulai dibuka seperti mall dan perkantoran. Bahkan jalan toll digratiskan agar ekonomi segera berjalan di negara tirai bambu tersebut. Dan aktifitas impor akan diperketat mengingat adanya potensi gelombang kedua dari Covid-19.

Disisi lainnya, saat Tiongkok sudah mulai pulih, banyak negara di Eropa dan Amerika Serikat sendiri sedang dalam masa sulit. Jumlah konfirmasi kasus positif Covid-19 di negara-negara barat ini masih terus meningkat. Dan ekonomi nyaris berhenti.

Di Indonesia sendiri, Pemerintah terlihat ragu antara fokus menangani wabah yang terjadi ataukah juga menyelamatkan ekonomi negara. Penulis katakan ragu dikarenakan banyak bukti dan pernyataan dari Pemerintah sendiri yang menjadikan ekonomi sebagai fokus. Setidaknya, itulah yang kita temui dari informasi yang kita dapati sehari-hari dan tervalidasi dengan kondisi di daerah dimana masih banyak masyarakat Indonesia yang tetap bekerja di lapangan.


Kehadiran Pemimpin dalam Situasi Krisis
Apa yang terjadi saat ini memang belum bisa dikatakan masuk masa krisis. Bukan krisis ekonomi, bukan krisis budaya, pun bukan krisis sosial. Namun dari wabah ini, jika tidak segera tertangani dengan baik akan menyebabkan ketiga macam krisis diatas.

Himbauan dan anjuran yang dikeluarkan oleh Pemerintah dan Ulama terasa tidak efektif. Setidaknya dalam pandangan penulis.

Masih banyak masyarakat yang lebih memilih sudut pandang rasionalnya sendiri daripada pendapat rasional dari para ahli seperti Pemerintah, Dokter, Profesor, dan Ulama dari masing-masing agama.

Maka konsep kepemimpinan terpusat menjadi tak relevan. Kurang didengar kalau tak boleh dibilang tidak didengarkan.

Konsep kepemimpinan harus di re-shape.

Harus dibiarkan natural muncul di tengah-tengah masyarakat.

Penulis pribadi meyakini bahwa setiap masyarakat yang melek informasi, dalam artian ia melek gawe; melek internet; nonton berita di televisi; atau setidaknya membaca koran dan dapat informasi dari tetangga, memiliki pengetahuan yang cukup jika Covid-19 itu adalah sebuah penyakit menular dan harus dihindari.

Namun pengetahuan ini menjadi tak relevan dan tak bisa divalidasi oleh aktivitas otak masyarakat kita karena mereka memiliki sudut pandang dan pola perilaku yang mengharuskannya melakukan ini dan itu.

Yang biasa jualan di pasar, ya harus ke pasar. Yang jadi juru parkir ya harus kembali ke jalanan. Yang tiap pagi ke sawah-ladang juga masih tetap ke sawah ladang. Bahkan para buruh yang tiap hari kerja keras di pabrik ya harus tetap masuk pabrik karena aktifitas ekonomi harus jalan. Setidaknya untuk diri mereka sendiri (dan keluarganya).

Pun juga bapak-bapak yang biasa shalat Jumat ya masih meramaikan shalat Jumat di masjid meski ada himbauan dari masing-masing kepala daerah.

Sudut pandang ini sebaiknya menjadi kaidah sendiri bagi siapapun yang mau rasional dalam melihat problematika sosial masyarakat kita di Indonesia. Mungkin itulah salah satu alasan mengapa Pemerintah tak bisa tegas dalam melakukan upaya pencegahan penyebaran Covid-19 di Indonesia.

Dalam situasi seperti ini, dimana anjuran dan himbauan tak lagi mempan sekalipun dari ulama sekaliber apapun, maka kepemimpinan itu harus muncul dalam skala yang lebih kecil. Kepemimpinan sebaiknya dibiarkan muncul di tengah-tengah masyarakat itu sendiri. Melalui budaya gotong royong atau budaya ketimuran kita sendiri. Karena pada prinsipnya, orang mau mendengarkan orang yang dapat memahami cara berpikirnya. Dalam artian sederhana: mengenal.

Masyarakat desa lebih bisa memahami ini lebih muda daripada masyarakat perkotaan. Sekalipun masyarakat desa tak tahu apapun terkait teknisnya. Mereka secara natural dapat menerapkannya.

Akhir-akhir ini, Covid-19 lebih menjadi menakutkan karena berita yang beredar dan belum bisa divalidasi kebenarannya. Dampaknya adalah orang banyak yang enggan ke Rumah Sakit; inisiatif melapor; dan lain sejenisnya. Bahkan kelangkaan terjadi pada sebagian jenis produk di pasar.

Problem seperti ini harus segera diatasi. Setidaknya disadarkan. Dan itu perlu leadership.

Ini saatnya untuk bersinar bagi para pemimpin di daerah.



0 comments:

Post a Comment

+